Foto

Foto
Drs.Mursal.M.Ag

Kamis, 08 April 2010

TUJUAN HUKUM ISLAM

Secara umum, para pakar hukum Islam, merumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak segala yang mudarat --dan yang membawa pada mudarat--. Dengan kata lain, tujuan hukum dalam Islam adalah untuk memberikan kemasalahatan hidup bagi manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia saja, tetapi juga untuk kehidupan di akhirat kelak.[2] Muhammad Abû Zahrah[3] dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang disyariatkan dalam al-Qur`an maupun sunnah kecuali di dalamnya terdapat kemaslahatan.[4]

Akan tetapi jika dipertanyakan apakah maslahat itu bersifat relatif berdasarkan ruang dan waktu? Tampaknya, ya. Karena demikian, pembicaraan mengenai tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarî’ah) dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer menjadi sangat penting. Dikatakan penting, karena hal ini harus diketahui dan dipahami oleh mujtahid, dan atau badan legislasi hukum Islam dalam rangka mengembangakan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang ketentuan hukumnya tidak diatur secara eksplisit oleh al-Qur`an dan hadis. Selain itu, tujuan hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui apakah ketentuan hukum suatu kasus masih dapat dipertahankan sementara telah terjadi perubahan struktur masyarakat.

Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, harus diteliti terlebih dahulu hakikat dari masalah tersebut, sebagaimana juga harus diadakan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalil atau dasar hukumnya. Maksudnya, dalam menetapkan (menerapkan) nash terhadap suatu kasus yang baru, kandungan nash harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyariatkannya hukum tersebut. Kemudian, perlu juga dilakukan studi apakah ayat atau hadis tersebut cocok diterapkan pada kasus yang baru itu. Boleh jadi ada kasus hukum baryu yang mirip atau bisa jadi sama-- dengan kasus hukum yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis, tetapi setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap realitas sosial yang direspons oleh ayat atau hadis itu berbeda dengan kasus yang sedang dihadapi. Konsekuensinya, kasus tersebut tidak bisa disamakan hukumnya dengan kasus yang ada pada kedua sumber utama itu.[5] Di sinilah letak pentingnya pengetahuan tentang tujuan umum disyariatkannya hukum dalam Islam.

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa tujuan Allah mensyariatkan hukum-hukum-Nya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghidari mafsadat baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan kemaslahatan dimaksud, berdasarkan penelitian para ahli ushul fikih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima unsur pokok tersebut adalah; agama (al-dîn), jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), harta (al-mâl), dan akal (al-aql).[6]

Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok di atas, al-Syâthbî membedakannya menjadi tiga tingkat maqâshid atau tujuan syariat, yaitu dharûriyyah, tahsîniyyah, dan hâjiyyah.[7] Pembagian ini, tampaknya, didasarkan pada tingkat kebutuhan dan penentuan prioritasnya manakala kemaslahatan yang pada masing-masing tingkatan saling berbenturan. Dalam hal hal ini maslahat dharûriyyah menempati prioritas pertama dan utama, kemudian hâjiyyah dan prioritas terakhir adalah tahsîniyyah. Dari sisi lain, dapat juga dilihat bahwa tahsîniyyah melengkapi hâjiyyah dan hâjiyyah melengkapi dharûriyyah.[8] Dengan demikian memelihara ketiga maqâshid di atas tidak dapat dipisahkan.

Adapun yang dimaksud dengan memelihara maqâshid tingkat dharûriyyah ialah memelihara kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang bersifat esensial. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi atau terpelihara akan berakibat terancamnya lima unsur pokok yang harus dipelihara tadi. Sedangkan memelihara unsur pokok tingkat hâjiyyah bukan merupakan kebutuhan esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak melaksanakan hâjiyyah tidak akan membawa kehancuran pada lima kemaslahatan pokok, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukalaf. Kebutuhan dalam tingkat tahsîniyyah adalah kebutuhan penunjang agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok demi peningkatan martabat seseorang di dalam masyarakat dan di hadapan Tuhan, sesuai dengan kaidah-kaidah kepatutan. [9]

Untuk lebih jelasnnya gambaran tentang tingkatan atau prioritas tiga maqâshid di atas dalam upaya memelihara lima masalah pokok berikut dikemukakan beberapa contoh:[10]

1. Memelihara agama

Dalam tingkat dharûriyyah, memelihara agama yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk kategori primer, contoh, mendirikan shalat lima waktu dan puasa Ramadan. Apabila kedua kewajiban ini diabaikan, maka eksistensi agama akan terancam.

Memelihara agama dalam tingkat hâjiyyah, yaitu melaksanakan ketentuan agama untuk menghindari kesulitan, seperti menjamak dan mengqashar shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang berpergian. Apabila ketentuan ini tidak dilaksanakan, tidak akan mengancam kemaslahatan agama, tetapi hanya akan mempersulit orang yang bersangkutan.

Sementara memelihara agama dalam tingkat tahsîniyyah yaitu sebagai penunjang atau penyempurna dalam melaksanakan kewajiban keagamaan, misalnya melaksanakan shalat di awal waktunya, mengerjakan shalat tersebut dengan cara berjamaah, mengerjakan puasa sunat atau ibadah-ibadah sunat lainnya.

2. Memelihara Jiwa

Memelihara jiwa dalam tingkat dharûriyyah, yaitu memenuhi kebutuhan pokok berupa makan dan minum guna mempertahankan hidup. Apabila kebutuhan ini diabaikan, maka akan berakibat fatal terhadap eksistensi jiwa manusia.

Memelihara jiwa dalam tingkat hâjiyyah, adalah seperti diperbolehkan menikmati makanan dan minuman yang lezat, memakai pakaian yang bagus, menikmati fasilitas hidup seperti rumah, kendaraan dan lain-lain. Andaikan hal di atas tidak terpenuhi, tidak akan membawa pada kebinasaan hidup manusia, melainkan hanya mempersulit hidup itu sendiri.

Sedangkan memelihara jiwa dalam tingkat tahsîniyyah adalah seperti mengatur cara dan tata cara makan dan minum sesuai dengan etika yang diatur agama. Umpamanya, sebelum makan/minum membaca basmalah dan sesudahnya membaca hamdalah.

3. Memelihara Keturunan

Memelihara keturunan dalam tingkat dharûriyyah, seperti disyariatkannya nikah dan diharamkan zina serta disyariatkan hukuman zina (hadd). Jika aturan ini diabaikan maka eksistensi dan kehormatan keturunan akan terancam.

Adapun memelihara keturunan dalam tingkat hâjiyyah, yaitu seperti ketentuan menyebutkan mahar dalam akad nikah. Begitu juga dengan hak menjatuhkan talak bagi suami dan hak meminta cerai bagi istri manakala masing-masingnya merasa tidak harmonis lagi hidup bersama pasangannya.

Selanjutnya, memelihara keturunan dalam tingkat tahsîniyyah adalah, seperti, disyariatkannya meminang dan mengadakan pesta perkawinan (walîmah). Begitu juga himbauan untuk mempertimbangan kafâ`ah dan lain-lain. Mengabaikan hal-hal di atas tidak mengancam eksistensi keturunan, dan tidak juga akan mempersulit orang yang akan melakukan pernikahan.

4. Memelihara Harta

Untuk memelihara harta dalam tingkat dharûriyyah, seperti adanya aturan syariat tentang cara memperoleh hak milik (harta), seperti dilarang mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak sah, misalnya mencuri dan merampok. Begitu juga dengan adanya hukuman potong tangan bagi pencuri, tujuannya adalah untuk melindungi atau memelihara harta. Apabila aturan-aturan tersebut tidak diindahkan, maka perlindungan terhadap harta dan eksistensinya akan terancam.

Memelihara harta dalam tingkat hâjiyyah, seperti dibolehkannya berbagai bentuk transaksi dalam bidang muamalat. Seandainya cara ini tidak dibolehkan, atau tidak digunakan, tidak akan mengancam eksistensi harta, tetapi hanya menyulitkan orang dalam melakukan interaksi ekonomi.

Dalam tingkat tahsîniyyah pemeliharaan harta dapat diwujudkan dalam bentuk memelihara dan meningkatkan kejujuran (moralitas) seperti tidak menipu, tidak menjual atau membeli benda-benda yang dilarang memperjualbelikannya, dan lain-lain.

5. Memelihara Akal

Untuk memelihara akal dalam tingkat dharûriyyah syarak mengharamkan segala jenis minuman yang memabukkan. Begitu juga dengan adanya hukuman bagi pemabuk, tujuannya adalah untuk melindungi agar eksistensi akal tidak terancam.

Dalam tingkat hâjiyyah, pemeliharaan terhadap akal seperti adanya anjuran untuk menuntut ilmu. Seandainya hal ini tidak dilakukan, maka tidak akan mengakibatkan rusaknya akal, tetapi hanya akan mempersulit diri orang yang bersangkutan dalam kaitannya dengan peningkatan potensi diri dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Sedangkan pemeliharaan akal dalam tingkat tahsîniyyah, seperti menjaga kesehatan dengan mengkonsumsi makanan atau minuman yang bergizi sesuai dengan kebutuhan. Di samping itu, menghindarkan diri dari makanan yang tidak bermanfaat, seperti jengkol dan petai.

Penggolongan maslahat menjadi tiga tingkat di atas dalam upaya memelihara tujuan hukum Islam penting artinya dalam memberikan prioritas, manakala suatu maslahat berbenturan dengan maslahat lain. Dalam hal ini, tingkat dharûriyyah harus menjadi prioritas pertama yang harus didahulukan sebelum tingkat kedua, hâjiyyah, dan tingkat ketiga, tahsîniyyah. Maka dalam aplikasinya, dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk maqâshid hâjjiyyah dan tahsîniyyah manakala hal-hal yang dharûrî terancam eksistensinya. Contoh, menutup aurat adalah hâjî dan berobat, dalam kondisi tertentu dharûrî, bagi orang sakit. Maka tidak dilarang membuka, begitu juga melihat aurat, apabila hal itu dibutuhkan dalam proses suatu pengobatan. Tetapi dalam hal ini, seperti diingatkan Yûsûf al-Qaradhâwî, disyaratkan tidak akan menimbulkan fitnah atau diiringi syahwat. Kalau mengandung fitnah atau membangkitkan syahwat, maka kebolehan tersebut harus dipertimbangkan demi menutup pinti bahaya (sadd al-dzarî’ah).[11]

Akan tetapi, apabila benturan itu terjadi pada maslahat yang setingkat, seperti sama-sama dharûrî, maka diprioritaskan mengambil maslahat, atau menolak mudarat, yang lebih besar. Izz al-Dîn bin Abd al-Salâm (ahli fikih Syâfiiyyah) dalam kaitan ini memberikan contoh, menyelamatkan jiwa orang yang tenggelam didahulukan dari menunaikam shalat wajib. Menyelamatkan jiwa seseorang jauh lebih utama dibanding mengerjakan shalat secara tepat waktu. Andaikatapun, waktu shalat luput, masih ada kesempatan menjamakkannya pada waktu lain,[12] sepanjang hal itu memungkinkan.



[1] Adalah terjemahan dari istilah maqâshid al-Syarî’ah yang terdapat dalam literatur hukum Islam yang berbahasa Arab.

[2] al-Syâthibî, loc. cit., Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, loc. cit., Al-Ghazâlî, Al-mustashfâ … (2) op. cit., h. 286

[3] Muhammad Abû Zahrah, op. cit., h. 366

[4] Sebagian teolog Islam (mutakallimîn) dari Asy’ariyyîn menolak tesis ini. Bagi mereka kesimpulan seperti ini mengimplikasikan bahwa Tuhan diwajibkan karena pertimbangan mashâlih untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Kewajiban yang seperti itu juga membatasi kemahakuasaan Tuhan yang mutlak (Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986, h. 128 dst.). Kendatipun demikian, mereka juga menerima konsep maslahat dengan menafsirkannya sebagai rahmat Tuhan, bukan sebagai sebab dari pertimbangan-pertimbangan-Nya. Muhammad Khâlid Mas’ûd, op. cit., h. 226

[5] Baca ijtihad Umar bin al-Khattâb

[6] Al-Syâthibî, op. cit., h. 4

[7] Ibid., h. 3-4

[8] Ibid., h. 8, Ali Hasballah, op. cit., h. 298

[9] Telaah: Ibid., h. 296-297, al-Syâthibî, op. cit. h. 4 -5

[10] Ibid. dst., Ali Hasballah, op. cit., h. 296 dst.

[11] Yûsûf al-Qaradhâwî, op. cit., h. 150

[12] . ‘Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm, Qawâ`id al-Ahâm fî Mashâlih al-Anâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t. th. ), jilid I, h. 63

1 komentar: