Foto

Foto
Drs.Mursal.M.Ag

Kamis, 08 April 2010

METODE SADD AL-DZARÎ’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM DALAM MENGHADAPI BERBAGAI PERUBAHAN SOSIAL

Pendahuluan

Secara historis Hukum Islam sering mengalami format yang berbeda untuk objek tertentu. Perbedaan ini, antara lain, disebabkan karena terjadinya perubahan sosial. Ziarah kubur dilarang Rasulullah saw., kemudian dianjurkan. Umar bin al-Khaththab adalah figur yang sering melakukan modifikasi hukum Islam terkait dengan terjadinya perubahan sosial.

Sejalan dengan terjadinya perubahan sosial yang semakin drastis sekarang ini menuntut umat Islam harus arif. Produk hukum yang ditetapkan tidak boleh hanya berfokus pada legal formal suatu tindakan, tetapi antisipasi terhadap dampak dari tindakan tersebut juga harus dipertimbangkan. Pengambilan keputusan dengan menitikberatkan pada akibat suatu tindakan dalam teori hukum Islam disebut sadd al-dzarî’ah

A. Terminologi Sadd al-Dzarî’ah dan Dasar Hukumnya

1. Pengertian Sadd al-Dzarî’ah

Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, dalam bukunya I’lâm al-Muwaqqi'în, mengemukakan bahwa dzarî’ah adalah:

ما كان وسيلة وطريقا إلى الشيء

Segala sesuatu yang menjadi perantara, penghubung atau jalan menuju sesuatu.

Ungkapan "الشيء" dalam definisi di atas mengandung pengertian umum dan netral, baik perantara menuju sesuatu yang diperintahkan maupun sesuatu yang menuju perbuatan yang dilarang.

Kendatipun Ibnu Qayyim netral dalam memberi definisi dzarî’ah, namun dalam penerapannya tidak demikian. Dia, seperti pakar-pakar hukum Islam lainnya, lebih cenderung menyoroti dzarî’ah dari segi yang menuju pada hal-hal yang negatif.[1] Kitabnya yang memuat paparan tentang persoalan ini dimulai dengan judul "سدّ الذريعة". Hampir seratus contoh dzarî’ah yang manshûsh dikemukaknnya, semuanya mengarah pada kemafsadatan (sadd al-dzarî’ah).

Berbeda dengan pengertian dzarî’ah yang dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim, al-Syâthibî, lebih menitikberatkan pengertian dzarî’ah pada sesuatu (jalan) yang menuju pada yang dilarang serta mengandung kemafsadatan.[2] Dalam kalimat al-Syâthibî sendiri tertulis:

التوسّل بما هو مصلحة إلى مفسدة

Suatu tindakan yang mengandung kemaslahatan menuju suatu kemafsadatan. [3]

Maksudnya, seperti dijelaskan al-Syâthibî, seseorang melakukan suatu tindakan yang pada dasarnya dibolehkan, bahkan kemungkinan diperintahkan. Akan tetapi, lanjut al-Syâthibî, tindakan itu menyebabkan timbulnya sesuatu (efek) yang tidak dibolehkan (ghair al-masyrû’).[4]

Memaknai dzarî’ah seperti yang diajukan al-Syâthibî dalam definisinya, menurut beberapa pakar ushul fikih adalah memahami dzarî’ah dalam arti khusus. Sementara, definisi dzarî’ah seperti yang dikemukakan oleh al-Qarâfi dan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah adalah memahami dzarî’ah dalam pengertian umum

Berdasarkan definisi dan penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa terma dzarî’ah di kalangan ahli ushul fikih terdiri dari dua kategori (bentuk). Pertama, dzarî’ah apa saja yang akan membawa pada perbuatan yang dilarang. Dzarî’ah jenis ini merupakan-perbuatan yang akan menimbulkan akibat buruk, karenanya, harus ditutup atau tidak boleh diberi peluang demi menghindari bahaya. Menutup atau melarang dzarî’ah jenis inilah yang kemudian disebut sadd al-dzarî’ah.

Kedua, dzarî’ah kepada perbuatan baik dan mengandung kemaslahatan, seperti anjuran atau kewajiban keagamaan. Dzarî’ah jenis ini termasuk perbuatan yang dituntut melaksanakannya. Contoh, shalat Jum'at hukumnya wajib, maka berusaha untuk sampai ke mesjid dengan menghentikan semua kegiatan juga diwajibkan. Dzarî’ah yang disebut terakhir ini, oleh sebagian ulama, disebut juga dengan fath al- dzarî’ah.[5]

Sementara itu, sebagian ulama ushul fikih menamai dzarî’ah dengan muqaddimah[6] (pendahuluan dari suatu pekerjaan).

Sementara, Amir Syarifuddin, lebih jelas, membedakan muqaddimah dan dzârî'ah dengan melihat pada sasaran atau arah yang dituju suatu wasîlah. Apabila arah atau sasaran yang dituju suatu wasîlah adalah perbuatan yang diperintahkan, maka wasîlah tersebut dinamakan muqaddimah. Jika sasaran yang dituju suatu wasîlah adaah perbuatan yang dilarang dinamakan dzarî'ah.

2. Ide-ide sadd al-dzarî'ah dalma nâsh (al-Qur`an atau Hadis)

Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung ide sadd al-dzari’ah adalah firman surat al-An'âm: 108

ولا تسبّوا الّذين يدعون من دون الله فصبّوا الله عدوّا بغير علم

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.

Pada dasarnya tidak ada salahnya memaki berhala (sembahan kaum musyrik) bahkan menghancurkannya seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim AS.[7] Akan tetapi karena, hampir dapat dipastikan, mereka akan membalas memaki Allah, bahkan dengan makian yang lebih kasar, maka Allah melarang hal di atas untuk menutup dzarî’ah yang menyebabkan kaum musyrik memaki-Nya.

Adapaun hadis-hadis nabi yang erat kaitannya dengan sadd al-dzarî’ah di antarnya hadis yang diterima dari Ibn Abbâs RA. Rasulullah SAW. bersabda:

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله يقول: لا يخلونّ رجل بامرأة إلاّ ومعها ذو محرم ولا تسافر المرأة إلاّ ومعها ذو محرم (متّفق عليه)

Dari Ibnu ‘Abbâs RA. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersunyi-sunyi (khalwat) dengan seorang wanita, kecuali didampingi (mahram) nya, dan wanita itu tidak boleh bepergian kecuali bersama muhrimnya.” (Muttafaq ‘alaihi). [8]

Larangan khalawat dalam riwayat di atas adalah untuk menghindari larangan utama berupa pebuatan cabul atau perzinaan. Akan tetapi berduan antara laki-laki dan perempuan di tempat sepi (khalwât) dapat membawa kepada perbuatan zina, atau sekurang-kurangnya menimbulkan kecurigaan terjadinya zina. Karena demikian, maka khalwât sekalipun ketika membaca al-Qur'an, atau perjalanan waktu mengerjakan haji, dan atau, mengunjungi orang tua,[9] tidak dibolehkan demi menghindari (sadd) dzarî’ah yang menyebabkan terjadinya zina.

Sementara, tindakan-tindakan sahabat Nabi yang tampaknya, didasarkan pada pertimbangan sadd al-dzarî’ah di antaranya adalah talak total (al-battah) dinyatakan jatuh tiga talak

Umar berpendapat, bahwa talak total (talak tiga yang dijatuhkan dengan sekali ucapan, sekaligus) dihitung jatuh tiga talak. Padahal, di zaman Rasul dan Abu Bakar tidak demikian, artinya hanya satu talak yang dianggap dan dinyatakan jatuh.[10]

Menurut para ulama, pertimbangan Umar dalam hal ini adalah untuk menghindari penjatuhan talak yang kurang merealisasikan tujuan dan fungsi disyariatkannya talak. Umar melihat, pada waktu itu, orang sudah begitu mudah mengucapkan talak tiga dengan sekali ucap. Barangkali, karena mereka mengetahui, bahwa talak yang jatuh hanya satu dan mereka memiliki hak rujuk. Menurut Umar, penjatuhan talak seperti ini adalah suatu tindakan main-main dan menganggap enteng persoalan agama. Karenanya, harus diberi sanksi dengan menetapkan jatuh tiga talak sekaligus. Jadi, tampaknya, ketentuan ini dimaksudkan Umar untuk menutup dzarî’ah agar seorang suami tidak menggunakan hak talak yang dimilikinya secara serampangan.[11]

B. Pembagian Dzarî’ah

Dilihat dari segi jenis akibat yang ditimbulkan dzarî’ah,, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah membagi dzarî’ah kepada dua.[12]

a. Dzarî’ah yang jelas membawa kepada suatu kemafsadatan

Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah mencotohkan seperti meminum minuman yang memabukkan semisal khamar akan menyebabkan mabuk, dan mabuk itu adalah suatu kemafsadatan. Jika menggunakan metode kias, maka dalam hal ini, termasuk penggunaan obat-obatan terlarang, seperti heroin, narkotik,[13] dan sebagainya akan menyebabkan akal kehilangan keseimbangannya ("fly"). Dzarî’ah kategori ini dilarang berdasarkan nash (al-Qur'an dan hadis), karenanya ulama sepakat mengharamkannya secara esensi (harâm lidzâtih).

b. Dzarî'ah yang pada dasarnya dibolehkan, bahakn dianjurkan, akan tetapi menjadi perantara (penyebab) terjadinya sesuatu yang dilarang.

Dzarî’ah bentuk kedua ini, oleh Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dibagi lagi kepada:[14]

1) Dzarî'ah yang sengaja dilakukan untuk suatu kemafsadatan

Dzari'ah dalam bentuk ini adalah perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan, atau, bahkan, dianjurkan, tetapi digunakan sebagai dzarî’ah menuju suatu perbuatan yang dilarang. Contoh, seseorang menikahi wanita yang telah ditalak tiga suaminya. Pernikahan tersebut bertujuan agar bekas suami, yang telah mentalak tiga, wanita itu boleh menikah lagi dengan bekas istri nya. Akad, yang lazim disebut dengan nikah tahlil, ini dilarang karena sengaja dijadikan jalan menuju perbuatan yang dilarang, meskipun pada dasarnya melakukan akad nikah tidak dilarang.

Dalam kaitan ini, al-Syâthibî mencontohkan seseorang yang menghibahkan sebagaian hartanya yang telah mencapai nishâb (jumlah harta minimum yang dikenakan zakat) dan telah masuk haul (jatuh tempo bagi pemilik harta untuk mengeluarkan zakat) dengan tujuan menghindari zakat.[15] Hibah seperti ini dilarang dengan dasar pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunat menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.[16]

2) Dzarî’ah (perbuatan) yang sejak semula tidak dimaksudkan untuk suatu kemafsadatan.

Dzarî’ah jenis ini adalah perbuatan-perbuatan yang tidak dilarang, bahkan mungkin dianjurkan dan tidak dimaksudkan untuk suatu kemafsadatan. Akan tetapi, biasanya perbuatan tersebut menimbulkan kemafsadatan. Contoh, memaki sembahan kaum musyrik pada dasarnya tidak dilarang. Namun karena efek dari makian itu diperkirakan, akan mengundang kemarahan kaum musyrik, dan menyebabkan mereka balik memaki Allah, maka perbuatan itu dilarang.

Dilihat dari segi kualitas mafsadat yang ditimbulkan dzarî’ah, al-Syâthibî[17] membagi dzarî’ah kepada empat kategori, sebagaimana dijelaskan para ulama ushul fikih[18] yakni:

a. Dzarî’ah (perbuatan) yang secara qath’î (pasti) mendatangkan mafsadat.

b. Dzarî’ah yang megandung kemungkinan akan membawa pada mafsadat, tetapi kemungkinannya sangat kecil karena jarang terjadi.

c. Dzarî’ah yang mengandung persangkaan kuat (ghalabat al-zhann) akan mendatangkan mafsadat, tetapi tidak sampai pada kategori keyakinan yang pasti ('ilm al-yaqîn).

Dalam hal ini, persangkaan kuat disamakan dengan keyakinan yang pasti. Sebab sadd al-dzarî’ah mengharuskan berhati-hati sedapat mungkin untuk menghindari kemafsadatan. Sementara, kehati-hatian (ihtiyâth) mengharuskan menggunakan persangkaan kuat (ghalabath al-zhann). Karenanya, setiap perbuatan yang termasuk dalam kategori dzarî’ah ini harus dilarang.[19]

d. Dzarî’ah yang mengandung kemungkinan akan mendatangkan mafsadat, namun kemungkinannya tidak sampai pada tingkat dugaan kuat (ghalabat al-zhann).

Dzarî’ah kategori ini biasanya terjadi dalam bentuk jual beli yang mungkin dijadikan jalan (cara) untuk melakukan praktek riba. Contohnya seseorang membeli suatu barang dengan harga tertentu secara kredit. Kemudian yang bersangkutan menjual kembali secara tunai kepada kreditor dengan harga yang jauh lebih murah, maka perbuatan ini dilarang. Alasannya, perbuatan tersebut mengandung kemungkinan (berpotensi) mendatangkan mafsadat berupa jual beli yang mengandung riba. Misalnya, seseorang yang sangat membutuhkan uang karena didesak oleh suatu keperluan bisa dieksploitasi orang-orang yang memiliki uang melalui jual beli untuk tujuan yang mafsadat. Al-Syâthibî menyebut jual beli ini dengan transaksi jual beli yang semu (لغو لا معنى لها)[20] dimana barang yang ditransaksikan seakan-akan tidak ada, sementara kreditor memperoleh keuntungan tanpa harus kehilangan barang dagangannya.

Dzarî’ah bentuk keempat ini, seperti contoh di atas, termasuk masalah yang dipersilisihkan ulama fikih, apakah dianggap sebagai dzarî’ah yang akan mengakibatkan mafsadat sehingga transaksi itu batal dan perbuatan itu dilarang.

c. Kehujahan Sadd al-dzarî’ah

1. Ulama yang menerima

Di kalangan Malikiah dan Hanabilah, kaidah sadd al-dzarî’ah dalam hubungannya dengan dalil-dalil fikih merupakan suatu kaidah yang diinduksi dari sejumlah dalil nash, ayat-ayat dan hadis Nabi, yang mendukung untuk suatu pengertian bahwa kaidah ini sejalan dengan tujuan syarak.

Dalam tataran praktis, mazhab Maliki dan Hanbali, memang, banyak menggunakan metode sadd al-dzarî’ah dalam menetapkan hukum.[21] Jadilah metode ini populer di kalangan Malikiyyah dan Hanabilah, dan sering diasosiasikan kepada mazhab mereka.[22]

Meskipun demikian, tidak berarti mazhab lain tidak menerima dan tidak menggunakan etode sadd al-dzarî’ah. Memang secara eksplisit, mazhab lain, seperti Syafi'i dan Hanafi, tidak mencantumkannya di dalam kitab-kitab ushul mereka sebagai dasar, yang berdiri sendiri, dalam menetapkan hukum.[23] Akan tetapi kenyataannya mereka juga menggunakan metode sadd al-dzarî’ah, paling tidak dasar-dasarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan hukum-hukum (fikih) yang mereka tetapkan untuk kasus-kasus tertentu.

Contoh, ulama mazhab Hanafi menganjurkan agar orang yang melakukan puasa pada yaum al-Syakk (hari yang meragukan, apakah bulan Sya’ban telah berakhir dan Ramadhan telah masuk atau belum) sedapat mungkin dilakukan secara diam-diam, apalagi dia seorang pemuka agama, sehingga ia tidak dituduh melakukan pelanggaran terhadap larangan Rasul.[24] Dalam suatu hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari Rasulullah SAW. bersabda:

عن أبي إسحاق عن صلة بن زفر قال عمّار: من صام هذا اليوم فقد عصى أبا القاسم صلّى الله عليه وسلّم (رواه البخاري)

Dari Abî Ishâq dari Shalah bin Zufar, ‘Ammar berkata: Siapa yang puasa pada hari ini (yaum al-syakk), berarti ia telah mengingkari Abâ al-Qâsim (Muhammad) SAW. (HR. Bukhari)[25]

Demikian pula ulama mazhab Syafi'i, dalam masalah-masalah tertentu, agaknya, juga menggunakan metode sadd al-dzarî’ah. Misalnya, Imam al-Syāfi`î sendiri memberi toleransi pada seseorang yang karena uzur, seperti sakit dan bepergian mengganti shalat Jum’at dengan shalat Zuhur. Namun Imam Syafi’i mengingatkan, sedapat mungkin shalat Zhuhur tersebut dikerjakan secara diam-diam. Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang tidak berpuasa karena adanya uzur. Orang tersebut hendaknya jangan makan atau minum di tempat-tempat terbuka agar tidak terlihat oleh orang yang tidak mengetahui keadaannya.[26]

Melakukan dua hal di atas secara sembunyi-sembunyi, memberi isyarat bahwa Imam Al-Syafi'i juga berhujah dengan sadd al-dzarî’ah, walaupun dalam bobot yang terbatas, seperti halnya ulama mazhab Hanafi.

Jadi, perbedaan antara ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak dengan ulama Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain terletak pada penerapannya dalam masalah-masalah furû`. Hal ini disebabkan karena perbedaan persepsi tentang ada atau tidak adanya manâth al dzarî’ah.[27] Misalnya, terjadi pada perbuatan yang mungkin akan mengakibatkan terjadinya kemafsadatan. Ulama mazhab Hanafi dan Syafi`i memandang suatu perbuatan tidak dilarang sepanjang tujuannya merupakan sesuatu yang dibolehkan. Akan tetapi, jika ada indikasi yang jelas, bahwa perbuatan itu bertujuan kepada yang dilarang (diharamkan), maka merekapun sepakat bahwa perbuatan tersebut harus dilarang[28] karena menjadi dzarî’ah kepada yang dilarang.

Perbedaan lainnya, seperti telah ditegaskan, bahwa kedua mazhab ini tidak mencantumkan sadd al-dzarî’ah di dalam kitab ushul fikih mereka sebagai hujah yang berdiri sendiri, tetapi digolongkan ke dalam cakupan metode ijtihad lainnya. Di kalangan ulama Hanfiyah tercakup ke dalam istihsan. Sementara, di kalangan ulama Syafi'iyah tergolong ke dalam cakupan kias.[29]

Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa mayoritas ulama menggunakan metode sadd al-dzarî’ah dalam menetapkan hukum syarak.

2. Ulama yang menolak

Kelompok ulama yang tidak menerima sadd al-dzarî’ah adalah mazhab Zhahiri. Mereka menolak dan menggugat eksistensi sadd al-dzarî’ah sebagai salah satu metode dalam mengambil istinbâth hukum syarak. Penolakan ini berangkat dari pemikiran bahwa metode sadd al-dzarî’ah adalah salah satu dari berbagai bentuk argumen, yang menurut mereka, hanya didasarkan pada akal (al-ra`yi) semata.

Menurut mereka, penentuan mengenai halal atau haramnya sesuatu merupakan hak Allah semata-mata.[30] Ketentuan-ketentuan mengenai halal atau haram dimaksud terkandung di dalam syariat yang diturunkan Allah. Sementara, syariat itu sendiri telah diturunkan secara tuntas dan sempurna (QS. al-Maidah: 3).

Selain itu, tampaknya, area dzarî’ah dalam pandangan Zhahiriyah hanya sebatas menjauhi yang syubhat karena khawatir terbawa pada yang haram. Padahal, jika dicermati wacana dzarî’ah yang berkembang di kalangan Malikiyah dan Hanabilah, secara umum, meliputi dua hal. Pertama, segala bentuk sarana (jalan) yang akan membawa kepada yang mafsadat (haram). Kedua, segala sarana (jalan) yang akan menyampaikan kepada sesuatu yang maslahat (diperintahkan). Yang disebut pertama dituntut meninggalkannya, kemudian dinamakan sadd al-dzarî’ah. Dan, yang disebut terakhir dituntut mengerjakannya, kemudian dinamakan fath al-dzarî’ah.

D. Urgensi Metode Sadd al-Dzari’ah Dalam Merespon Berbagai Perubahan Sosial

Adalah suatu realita, bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Apalagi dewasa ini. Dengan semakin berkembangnya arus informasi dan jaringan komunikasi sebagai salah satu bentuk wujud berkembangnya ilmu pengetahuan, maka mau tidak mau akan terjadi apa yang disebut dengan proses modernisasi. Suatu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa.

Dalam menyikapi permasalahan itu umat Islam harus arif. Ketetapan-ketetapan atau produk hukum yang ditetapkan tidak boleh menghambat kemajuan zaman di satu sisi, dan tetap memberi kemaslahatan bagi umat manusia, hususnya umat Islam, sesuai dengan kebutuhan zaman di sisi lain.

Memang, masalah-masalah yang muncul sekarang ini tidak semuanya baru, mungkin secara kebetulan, mirip, atau bahkan sama dengan masalah-masalah yang sudah pernah dibahas dan ditetapkan hukumnya oleh ulama terdahulu. Meskipun demikian, terhadap kasus-kasus semisal ini, para ulama dan badan legislasi hukum Islam yang memiliki otoritas, harus mempelajari dan meninjau ulang ketetapan hukum yang lebih maslahat untuk zaman sekarang. Untuk menghindari produk hukum yang hanya berorientasi legal formalnya suatu tindakan, maka metode sadd al-dzarî’ah menjadi sangat urgen untuk menghadapi berbagai perubahan sosial beserta dampak-dampaknya. Berikut dua persoalan aktual yang akan menjadi sorotan dalam tulisan ini, meskipun hanya sekedar contoh dari sekian banyak permasalahan hukum yang sedang dan akan dihadapi umat Islam sejalan dengan terjadinya perkembangan zaman dan perubahan sosial.

Pertama, melihat aurat pada media. Sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada larangan yang tegas dari al-Qur`an maupun hadis Nabi berkenaan dengan masalah ini.

Dari segi ini, tidak ada alasan untuk mengharamkan melihat aurat pada media melalui layar atau film. Namun, jika dicermati lebih jauh, agaknya, akan lebih bijak jika tinjauan dalam masalah ini tidak hanya berfokus pada ada atau tidaknya dalil yang melarang, melainkan lebih menitikberatkan pada efek dari perbuatan tersebut (al-nazhr fî al-m’âlât).

Logikanya, melihat aurat pada media, apalagi termasuk porno, diduga keras akan membangkitkan syahwat. Sementara orang yang syahwatnya bergejolak dikhawatirkan akan mendorongnya melakukan zina, apalagi bagi orang yang tidak memiliki saluran yang sah, atau paling tidak akan merusak fikirannya, lebih-lebih bagi anak-anak remaja dalam kondisi jiwa yang masih labil. Maka, dalam upaya kehati-hatian (ihthiyâthî) dan tindakan antisipasi, maka perbuatan tersebut harus dilarang. Pelarngan ini didasarkan pada sadd al-dzarî’ah (melarang sesuatu yang diperkirakan akan mendatangkan mafsadat).

Kedua, perkawinan beda agama. Secara historis perkawinan antara dua lawan jenis yang berlainan agama sering terjadi, dan sejak awal Islam persoalan ini menjadi salah satu yang diopinikan di kalangan ahli hukum (fuqaha’). Sebagian fuqaha’ maupun mufassirin (ahli tafsir) membolehkan dengan beberapa catatan dan sebagian yang lain melarang dengan beberapa catatan pula. Di Indonesia, kasus perkawinan antar agama yang berbeda cukup sering dijumpai, walaupun sering mendapat protes dari berbagai kelompok Islam. Bahkan, secara legislasi Majlis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya sudah melarang praktek perkawinan ini.

Dalam pasal 40 Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara jelas dirumuskan tentang larangan melangsungkan perkawinan antara dua orang yang berlainan agama. Redaksi pasal itu berbunyi: Dilarang melangsungkan perkawinan dengan … ( c ) seorang wanita yang tidak beragama Islam. Senada dengan pasal ini terdapat juga rumusan yang dijelaskan pada pasal 44, yaitu: Seorang wanita Islam dilarang melakukan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam.

Jika dihubungkan dengan perkawianan antar agama dalam konteks ke-Indonesiaan, dapat diduga bahwa larangan –baik MUI maupun KHI-- tersebut lahir atas pertimbangan kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan. Terutama melindungi akidah keturunan (anak). Sebab, secara psikologis ibu lebih dekat kepada anak dan lebih berpengaruh terhadap mereka. Oleh karena itu, perkawinan antara pria muslim dengan wanita nonmuslim, katakanlah ahl al-kitâb, yang semula dimaksudkan untuk dakwah Islam, tidak dapat diharapkan. Bahkan justru sebaliknya yang akan terjadi, yakni dapat menggoyahkan akidah khususnya keturunan mereka.

Selain di atas, perkawinan antara agama tersebut, agaknya, kurang dapat merealisasikan tujuan perkawinan. Tujuan perkawinan menurut al-Qur`an adalah untuk mendapatkan ketenangan. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surah al-Rum:21 berikut:

ومن اياتـه أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها

Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tenang kepadanya.

Ketenangan yang disebut pada ayat di atas akan dapat direalisasikan apabila terdapat kesamaan emosional. Termasuk dalam hal ini, menurut Yusuf Ali, adalah kesamaan agama kedua suami istri.[31] Apabila kesamaan ini tidak ditemukan, dapat diduga, rumah tangga tersebut akan sering menghadapi konflik. Dan, tidak kalah pentingnya, tujuan perkawinan dalam Islam tidak sekedar mencari penyaluran seksual belaka, tetapi merupakan sarana mewujudkan masyarakat muslim yang saleh.

Mengingat mafsadat di atas, agaknya, dapat dikatakan bahwa larangan MUI dan KHI tentang perkawinan antar agama bertolak dari: al-nazhr fî al-mâlât (analisis dampak hukum) dari perkawinan muslim dengan nonmuslim. Dengan kata lain pelarangan di atas bertujuan menghindari akibat buruk yang diduga akan terjadi jika perkawinan beda agama dibolehkan. Pelarangan ini sesuai dengan prinsip ushul fiqh, menutup jalan pada sesuatu yang membahayakan. Hal ini sesuai dengan kaidah:

للوسائل حـكم المقاصــد

Sesuatu yang menjadi sarana atau perantara (pada sesuatu) maka hukumnya sama dengan hukum yang dituju.

E. Simpulan

1. Dalam kaitannya dengan dalil syarak, agaknya, perlu dibedakan antara dzarî`ah yang dimaksud, dengan yang tidak dimaksudkan sebagai dalil atau hujah syarak.

2. Dzarî`ah yang dimaksudkan sebagai dalil syarak adalah dzarî`ah yang tidak disinggung oleh nash tetapi mengarah kepada hukum yang dimaksud. Misalnya, tidakan-tindakan yang dapat merangsang bangkitnya syahwat, merupakan dzarî`ah terhadap perbuatan zina. Tetapi dalam hal ini tidak ada nash yang melarangnya. Meskipun demikian, karena mengarah kepada hukum yang dilarang, maka larangan yang berlaku pada yang dituju (zina) dapat diterapkan di sini didasarkan pada dalil sadd al- dzarî`ah.

3. Penggunaan sadd al- dzarî`ah sangat efektif untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif dari perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Sebab, metode ini tidak hanya berfokus pada legal formal suatu tindakan, tetapi juga pada akibat suatu tindakan.

Wallâhu a’lam bi al-shawâb


1 komentar: