Foto

Foto
Drs.Mursal.M.Ag

Kamis, 08 April 2010

TUJUAN HUKUM ISLAM

Secara umum, para pakar hukum Islam, merumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak segala yang mudarat --dan yang membawa pada mudarat--. Dengan kata lain, tujuan hukum dalam Islam adalah untuk memberikan kemasalahatan hidup bagi manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia saja, tetapi juga untuk kehidupan di akhirat kelak.[2] Muhammad Abû Zahrah[3] dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang disyariatkan dalam al-Qur`an maupun sunnah kecuali di dalamnya terdapat kemaslahatan.[4]

Akan tetapi jika dipertanyakan apakah maslahat itu bersifat relatif berdasarkan ruang dan waktu? Tampaknya, ya. Karena demikian, pembicaraan mengenai tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarî’ah) dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer menjadi sangat penting. Dikatakan penting, karena hal ini harus diketahui dan dipahami oleh mujtahid, dan atau badan legislasi hukum Islam dalam rangka mengembangakan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang ketentuan hukumnya tidak diatur secara eksplisit oleh al-Qur`an dan hadis. Selain itu, tujuan hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui apakah ketentuan hukum suatu kasus masih dapat dipertahankan sementara telah terjadi perubahan struktur masyarakat.

Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, harus diteliti terlebih dahulu hakikat dari masalah tersebut, sebagaimana juga harus diadakan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalil atau dasar hukumnya. Maksudnya, dalam menetapkan (menerapkan) nash terhadap suatu kasus yang baru, kandungan nash harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyariatkannya hukum tersebut. Kemudian, perlu juga dilakukan studi apakah ayat atau hadis tersebut cocok diterapkan pada kasus yang baru itu. Boleh jadi ada kasus hukum baryu yang mirip atau bisa jadi sama-- dengan kasus hukum yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis, tetapi setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap realitas sosial yang direspons oleh ayat atau hadis itu berbeda dengan kasus yang sedang dihadapi. Konsekuensinya, kasus tersebut tidak bisa disamakan hukumnya dengan kasus yang ada pada kedua sumber utama itu.[5] Di sinilah letak pentingnya pengetahuan tentang tujuan umum disyariatkannya hukum dalam Islam.

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa tujuan Allah mensyariatkan hukum-hukum-Nya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghidari mafsadat baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan kemaslahatan dimaksud, berdasarkan penelitian para ahli ushul fikih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima unsur pokok tersebut adalah; agama (al-dîn), jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), harta (al-mâl), dan akal (al-aql).[6]

Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok di atas, al-Syâthbî membedakannya menjadi tiga tingkat maqâshid atau tujuan syariat, yaitu dharûriyyah, tahsîniyyah, dan hâjiyyah.[7] Pembagian ini, tampaknya, didasarkan pada tingkat kebutuhan dan penentuan prioritasnya manakala kemaslahatan yang pada masing-masing tingkatan saling berbenturan. Dalam hal hal ini maslahat dharûriyyah menempati prioritas pertama dan utama, kemudian hâjiyyah dan prioritas terakhir adalah tahsîniyyah. Dari sisi lain, dapat juga dilihat bahwa tahsîniyyah melengkapi hâjiyyah dan hâjiyyah melengkapi dharûriyyah.[8] Dengan demikian memelihara ketiga maqâshid di atas tidak dapat dipisahkan.

Adapun yang dimaksud dengan memelihara maqâshid tingkat dharûriyyah ialah memelihara kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang bersifat esensial. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi atau terpelihara akan berakibat terancamnya lima unsur pokok yang harus dipelihara tadi. Sedangkan memelihara unsur pokok tingkat hâjiyyah bukan merupakan kebutuhan esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak melaksanakan hâjiyyah tidak akan membawa kehancuran pada lima kemaslahatan pokok, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukalaf. Kebutuhan dalam tingkat tahsîniyyah adalah kebutuhan penunjang agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok demi peningkatan martabat seseorang di dalam masyarakat dan di hadapan Tuhan, sesuai dengan kaidah-kaidah kepatutan. [9]

Untuk lebih jelasnnya gambaran tentang tingkatan atau prioritas tiga maqâshid di atas dalam upaya memelihara lima masalah pokok berikut dikemukakan beberapa contoh:[10]

1. Memelihara agama

Dalam tingkat dharûriyyah, memelihara agama yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk kategori primer, contoh, mendirikan shalat lima waktu dan puasa Ramadan. Apabila kedua kewajiban ini diabaikan, maka eksistensi agama akan terancam.

Memelihara agama dalam tingkat hâjiyyah, yaitu melaksanakan ketentuan agama untuk menghindari kesulitan, seperti menjamak dan mengqashar shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang berpergian. Apabila ketentuan ini tidak dilaksanakan, tidak akan mengancam kemaslahatan agama, tetapi hanya akan mempersulit orang yang bersangkutan.

Sementara memelihara agama dalam tingkat tahsîniyyah yaitu sebagai penunjang atau penyempurna dalam melaksanakan kewajiban keagamaan, misalnya melaksanakan shalat di awal waktunya, mengerjakan shalat tersebut dengan cara berjamaah, mengerjakan puasa sunat atau ibadah-ibadah sunat lainnya.

2. Memelihara Jiwa

Memelihara jiwa dalam tingkat dharûriyyah, yaitu memenuhi kebutuhan pokok berupa makan dan minum guna mempertahankan hidup. Apabila kebutuhan ini diabaikan, maka akan berakibat fatal terhadap eksistensi jiwa manusia.

Memelihara jiwa dalam tingkat hâjiyyah, adalah seperti diperbolehkan menikmati makanan dan minuman yang lezat, memakai pakaian yang bagus, menikmati fasilitas hidup seperti rumah, kendaraan dan lain-lain. Andaikan hal di atas tidak terpenuhi, tidak akan membawa pada kebinasaan hidup manusia, melainkan hanya mempersulit hidup itu sendiri.

Sedangkan memelihara jiwa dalam tingkat tahsîniyyah adalah seperti mengatur cara dan tata cara makan dan minum sesuai dengan etika yang diatur agama. Umpamanya, sebelum makan/minum membaca basmalah dan sesudahnya membaca hamdalah.

3. Memelihara Keturunan

Memelihara keturunan dalam tingkat dharûriyyah, seperti disyariatkannya nikah dan diharamkan zina serta disyariatkan hukuman zina (hadd). Jika aturan ini diabaikan maka eksistensi dan kehormatan keturunan akan terancam.

Adapun memelihara keturunan dalam tingkat hâjiyyah, yaitu seperti ketentuan menyebutkan mahar dalam akad nikah. Begitu juga dengan hak menjatuhkan talak bagi suami dan hak meminta cerai bagi istri manakala masing-masingnya merasa tidak harmonis lagi hidup bersama pasangannya.

Selanjutnya, memelihara keturunan dalam tingkat tahsîniyyah adalah, seperti, disyariatkannya meminang dan mengadakan pesta perkawinan (walîmah). Begitu juga himbauan untuk mempertimbangan kafâ`ah dan lain-lain. Mengabaikan hal-hal di atas tidak mengancam eksistensi keturunan, dan tidak juga akan mempersulit orang yang akan melakukan pernikahan.

4. Memelihara Harta

Untuk memelihara harta dalam tingkat dharûriyyah, seperti adanya aturan syariat tentang cara memperoleh hak milik (harta), seperti dilarang mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak sah, misalnya mencuri dan merampok. Begitu juga dengan adanya hukuman potong tangan bagi pencuri, tujuannya adalah untuk melindungi atau memelihara harta. Apabila aturan-aturan tersebut tidak diindahkan, maka perlindungan terhadap harta dan eksistensinya akan terancam.

Memelihara harta dalam tingkat hâjiyyah, seperti dibolehkannya berbagai bentuk transaksi dalam bidang muamalat. Seandainya cara ini tidak dibolehkan, atau tidak digunakan, tidak akan mengancam eksistensi harta, tetapi hanya menyulitkan orang dalam melakukan interaksi ekonomi.

Dalam tingkat tahsîniyyah pemeliharaan harta dapat diwujudkan dalam bentuk memelihara dan meningkatkan kejujuran (moralitas) seperti tidak menipu, tidak menjual atau membeli benda-benda yang dilarang memperjualbelikannya, dan lain-lain.

5. Memelihara Akal

Untuk memelihara akal dalam tingkat dharûriyyah syarak mengharamkan segala jenis minuman yang memabukkan. Begitu juga dengan adanya hukuman bagi pemabuk, tujuannya adalah untuk melindungi agar eksistensi akal tidak terancam.

Dalam tingkat hâjiyyah, pemeliharaan terhadap akal seperti adanya anjuran untuk menuntut ilmu. Seandainya hal ini tidak dilakukan, maka tidak akan mengakibatkan rusaknya akal, tetapi hanya akan mempersulit diri orang yang bersangkutan dalam kaitannya dengan peningkatan potensi diri dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Sedangkan pemeliharaan akal dalam tingkat tahsîniyyah, seperti menjaga kesehatan dengan mengkonsumsi makanan atau minuman yang bergizi sesuai dengan kebutuhan. Di samping itu, menghindarkan diri dari makanan yang tidak bermanfaat, seperti jengkol dan petai.

Penggolongan maslahat menjadi tiga tingkat di atas dalam upaya memelihara tujuan hukum Islam penting artinya dalam memberikan prioritas, manakala suatu maslahat berbenturan dengan maslahat lain. Dalam hal ini, tingkat dharûriyyah harus menjadi prioritas pertama yang harus didahulukan sebelum tingkat kedua, hâjiyyah, dan tingkat ketiga, tahsîniyyah. Maka dalam aplikasinya, dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk maqâshid hâjjiyyah dan tahsîniyyah manakala hal-hal yang dharûrî terancam eksistensinya. Contoh, menutup aurat adalah hâjî dan berobat, dalam kondisi tertentu dharûrî, bagi orang sakit. Maka tidak dilarang membuka, begitu juga melihat aurat, apabila hal itu dibutuhkan dalam proses suatu pengobatan. Tetapi dalam hal ini, seperti diingatkan Yûsûf al-Qaradhâwî, disyaratkan tidak akan menimbulkan fitnah atau diiringi syahwat. Kalau mengandung fitnah atau membangkitkan syahwat, maka kebolehan tersebut harus dipertimbangkan demi menutup pinti bahaya (sadd al-dzarî’ah).[11]

Akan tetapi, apabila benturan itu terjadi pada maslahat yang setingkat, seperti sama-sama dharûrî, maka diprioritaskan mengambil maslahat, atau menolak mudarat, yang lebih besar. Izz al-Dîn bin Abd al-Salâm (ahli fikih Syâfiiyyah) dalam kaitan ini memberikan contoh, menyelamatkan jiwa orang yang tenggelam didahulukan dari menunaikam shalat wajib. Menyelamatkan jiwa seseorang jauh lebih utama dibanding mengerjakan shalat secara tepat waktu. Andaikatapun, waktu shalat luput, masih ada kesempatan menjamakkannya pada waktu lain,[12] sepanjang hal itu memungkinkan.



[1] Adalah terjemahan dari istilah maqâshid al-Syarî’ah yang terdapat dalam literatur hukum Islam yang berbahasa Arab.

[2] al-Syâthibî, loc. cit., Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, loc. cit., Al-Ghazâlî, Al-mustashfâ … (2) op. cit., h. 286

[3] Muhammad Abû Zahrah, op. cit., h. 366

[4] Sebagian teolog Islam (mutakallimîn) dari Asy’ariyyîn menolak tesis ini. Bagi mereka kesimpulan seperti ini mengimplikasikan bahwa Tuhan diwajibkan karena pertimbangan mashâlih untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Kewajiban yang seperti itu juga membatasi kemahakuasaan Tuhan yang mutlak (Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986, h. 128 dst.). Kendatipun demikian, mereka juga menerima konsep maslahat dengan menafsirkannya sebagai rahmat Tuhan, bukan sebagai sebab dari pertimbangan-pertimbangan-Nya. Muhammad Khâlid Mas’ûd, op. cit., h. 226

[5] Baca ijtihad Umar bin al-Khattâb

[6] Al-Syâthibî, op. cit., h. 4

[7] Ibid., h. 3-4

[8] Ibid., h. 8, Ali Hasballah, op. cit., h. 298

[9] Telaah: Ibid., h. 296-297, al-Syâthibî, op. cit. h. 4 -5

[10] Ibid. dst., Ali Hasballah, op. cit., h. 296 dst.

[11] Yûsûf al-Qaradhâwî, op. cit., h. 150

[12] . ‘Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm, Qawâ`id al-Ahâm fî Mashâlih al-Anâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t. th. ), jilid I, h. 63

PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM

Norma hukum dalam Islam terdiri dari dua kategori; pertama, norma-norma hukum yang ditetapkan oleh Allah dan atau Rasulnya secara langsung dan tegas. Norma-norma hukum jenis ini bersifat konstant dan tetap. Artinya, untuk melaksanakan ketentuan hukum tersebut tidak membutuhkan penalaran atau tafsiran (ijtihad) dan tetap berlaku secara universal pada setiap zaman dan tempat. Norma-norma hukum semacam ini jumlahnya tidak banyak, dan dalam diskursus norma hukum (Islam), inilah yang disebut dengan syariat dalam arti yang sesungguhnya.
Kedua, Norma-norma hukum yang ditetapkan Allah atau rasul-Nya berupa pokok-pokok atau dasarnya saja. Dari norma-norma hukum yang pokok ini kemudian lahir norma hukum lain melaui ijtihad para mujtahid dengan format yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Norma-norma yang terakhir inilah yang kemudian dinamai dengan fikih atau hukum Islam. Tentu saja norma-norma ini tidak bersifat tetap, tetapi bisa saja berubah (diubah) sesuai tuntutan ruang dan waktu. Cuma saja, dalam menetapkan format hukum baru --untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkembang--, para mujtahid dan badan legislasi Islam harus senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Di antara beberapa prinsip hukum Islam yang patut disebutkan di sini adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan Kepicikan
Bila diamati ajaran Islam, khususnya dalam bidang hukum, maka akan terlihat bahwa norma-norma hukumnya senantiasa bertumpu pada prinsip nafy al-haraj (meniadakan kepicikan) demi menghindari kesulitan. Hal ini tidak berati bahwa setiap ketetapan syarak sedikitpun tidak mengandung kesulitan. Bahkan, seperti dikatakan Hasbi, kesulitan meskipun hanya sedikit adalah ciri khas dari hukum Islam, dan tanpa adanya kesulitan, taklif itu tidak ada wujudnya. Hal ini sejalan dengan pengertian taklif itu sendiri, seperti dikemukakan al-Syâthibî, yaitu: mengharuskan sesuatu yang padanya ada yang memberatkan berupa masyaqqah (kesulitan). Hanya saja, kesulitan itu sepadan dengan kemampuan yang dimiliki mukalaf (orang yang dibebani hukum).
Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa ketentuan-ketentuan hukum dalam Islam bukanlah sesuatu yang harus dilaksanakan secara kaku tanpa mempertimbangkan kesulitan dalam pelaksanaannya. Akan tetapi sebaliknya, dimana dalam kondisi-kondisi tertentu, jika dipandang penerapan hukum yang ada akan menimbulkan kesulitan yang luar biasa, maka diberikan jalan keluar berupa keringanan atau toleransi.
Prinsip nafy al-haraj ini dapat dilihat dalam kandungan sejumlah ayat al-Qur`an dan hadis Nabi dimana taklif tidak pernah diberikan melampaui batas kemampuan mukalaf. Oleh karena itu, ketika mukallaf mengalami kesulitan dalam pelaksanaan suatu hukum, maka dalam waktu yang sama diberikan kemudahan atau toleransi.
Pemberian kemudahan atau toleransi --di kalangan ahli hukum Islam-- disebut juga dengan rukhshah. Contoh, dibolehkan memakan atau meminum yang haram dalam kondisi yang darurat, boleh meninggalkan yang wajib jika kesulitan melaksanakannya; seperti karena sakit dibolehkan berbuka puasa di bulan Ramadan, melaksanakan shalat dengan duduk, bahkan berbaring. Begitu juga dibolehkan menggabungkan (menjamak) dan mengqashar (meringkas) shalat karena musafir (bepergian).
Adanya rukhshah dalam sejumlah hukum yang ditetapkan Allah maupun Rasul, oleh fuqahâ` dipertajam lagi dengan kesimpulan yang mereka rumuskan dalam bentuk kaedah “" المشقّة تجلب التيسير (kesulitan itu mendatangkan kemudahan).
Dalam penerapannya, kaidah ini dikembangkan lagi dengan beberapa kaidah cabang untuk objek yang lebih spesifik.
2. Keadilan
Di antara pesan-pesan al-Qur`an (sebagai sumber hukum Islam) adalah penegakkan keadilan. Kata ‘adl ( عدل ) dalam berbagai bentuknya digunakan dalam al-Qur`an sebanyak 28 kali, salah satunya adalah:
إنّ الله يأمركم أن تؤدّوا الأمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين النّاس أن تحكموا بالعدل (النساء: 59)
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada orang-orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (al-Nisâ`: 59)
Kata memutuskan ( حكم ) di sini, agaknya, tidak terbatas hanya pada pengertian memutuskan perkara di pengadilan atau memutuskan perselisihan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa, tetapi juga dalam pengertian memerintah atau memegang kekuasaan. Keharusan adil di sini menyangkut sikap semua orang yang berada pada posisi membuat keputusan, baik di lingkungan keluarga, atau masyarakat dan negara, baik bidang hukum, ekonomi, politik, atau bidang-bidang lainnya. Kata amânât jamak dari amânah, yang berarti kepercayaan, mencakup segala bentuk kepercayaan dari masyarakat agar manusia bertindak adil sesuai dengan dengan tuntunan Allah.
Jadi, hukum dalam konteks ini, menurut al-Qur`an adalah ketetapan, keputusan, dan perintah yang berasal dari Allah dan legislasi manusia yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Sebagai ketetapan yang berasal dari Allah yang Maha Adil, Maha Benar, Maha Tahu akan kemaslahatan hamba-Nya, hukum Tuhan (syariat) berisikan keadilan seluruhnya. Dengan demikian, hukum Islam (fikih) sebagai norma hukum ”buatan” atau legislasi manusia, harus berdasarkan pada hukum Tuhan dan keadilan. (Karena sesungguhnya, hukum Islam atau fikih, seperti telah dinyatakan, adalah perwujudan dari hukum Tuhan). Keadilan dan hukum adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang yang saling membutuhkan. Tujuan hukum terpenting, adalah untuk menegakkan keadialan, dan keadilan tidak mungkin ditegakkan, antara lain, tanpa adanya kepastian hukum.
Implikasi dari prinsip keadilan ini, hukum harus diterapkan secara merata tanpa pandang bulu. Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum, tanpa membedakan asal keturunan, warna kulit maupun tingkat kebudayaan dan peradaban yang dicapai. Tidak ada kelompok, golongan, etnis, atau komunitas apapun yang dipandang lebih tinggi atau lebih mulia dari selainnya seperti yang terdapat dalam agama Hindu, umpamanya. Semua manusia sama. Yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah derajat ketakwaannya (al-Hujarat: 13).
Tentang menegakkan keadilan tanpa pandang bulu telah dicontohkan oleh Nabi sendiri. Pernah suatu hari Nabi menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seorang perempuan dalam kasus pencurian. Lalu keluarga terhukum meminta `Usamah bin Zaid (salah seorang sahabat dekan Nabi) untuk meminta kepada Nabi agar hukuman diringankan. Ketika `Usamah bin Zaid menghadap kepada Nabi dan menyampaikan persolan itu, Nabi bukan saja menolak permohonan `Usamah, bahkan menegurnya dan bersabda:
أتشفع في حدّ من حدود الله؟ … والذي نفسي بيده لو كانت فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها … (رواه مسلم وأحمد والنسائي عن عائشة)
Apakah anda akan memberikan dispensasi terhadap seseorang dalam menjalankan keputusan hukum (hadd) dari hukum-hukum Alllah? … demi Allah, andaikan Fathimah, putri Muhammad yang mencuri maka saya tetap akan memotong tangannya.
Hadis di atas menunjukkan bahwa hukum harus dijalankan tanpa pandang bulu demi mewujudkan keadilan hukum. Untuk menerapkan keadilan yang merata jugalah, ditetapkan kewajiban membayar zakat. Di samping itu, syariat mengharuskan yang kaya menafkahi kerabatnya yang miskin. Bagi fakir miskin yang tidak mempu bekerja, negara harus memberikan tunjangan huidup bagi mereka sepanjang negara memiliki kemampuan.

3. Kemaslahatan
Secara sederhana, maslahat bisa diartikan dengan mengambil manfaat dan menolak kemadaratan atau sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Apabila kemaslahatan dikatakan sebagai prinsip hukum, maka hukum harus memberikan kemaslahatan (kebaikan) bagi sipemakai hukum.
Dalam konteks hukum Islam dan pembinaannya, teori maslahat menduduki peranan penting, bahkan menurut para pakar hukum Islam, semisal al-Syâthibî, maslahah (kebaikan dan kesejahteraan manusia) dipandang sebagai tujuan akhir dari pensyariatan hukum-hukum.
Agaknya, dalam rangka memperhatikan kemaslahatan inilah, dalam sejarah pembentukan hukum Islam, suatu kasus bisa saja berubah ketentuan hukumnya apabila ‘illatnya (maslahat atau madarat) telah hilang. Begitu juga sesuatu yang pada dasarnya boleh (tidak dilarang), tapi dalam waktu atau kondisi tertentu bisa saja ditetapkan hukumnya terlarang (haram) apabila mendatangkan kemadaratan seperti kasus berziarah ke kuburan yang telah disebutkan.
Tidak diragukan, untuk tujuan memelihara kemaslahatan ini jugalah, kenapa sejumlah ijtihad Umar bin al-Khattab, bukan saja kontroversial dengan pendapat para sahabat Nabi di masanya, bahkan berbeda dengan praktek yang berlaku di zaman Rasulullah SAW. Salah satu di antara ijtihad Umar yang kontroversial itu ialah tentang muallaf yang tidak mendapat bagian dari pembagian zakat.
Dalam surat al-Taubah ayat 60, Allah menerangkan bahwa di antara golongan yang berhak menerima zakat ialah muallaf. Allah berfirman:
إنّما الصدقات للفقرآء والمساكين … والمؤلفة قلوبهم … (التوبة: 60)
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, … para muallaf yang dibujuk hatinya, … (al-Taubah: 60)
Berdasarkan fakta sejarah, kategori muallaf dapat digolongkan kepada orang-orang Islam yang masih lemah imannya dan orang-orang kafir (non-Islam) yang diharapkan sesuatu daripadanya. Untuk kategori yang disebut terakhir, oleh Rasyid Ridha, dibagi lagi menjadi dua macam. Pertama, orang-orang yang diharapkan akan beriman -- dan memperkuat Islam -- dengan adanya bagian muallaf yang diberikan kepada mereka. Kedua, orang-orang yang dikhawatirkan tindakan kejahatannya terhadap umat Islam. Maka bagian yang diberikan kepada mereka, diharapkan dapat melunakkan hati mereka dan menahan diri dari melakukan kejahatan.
Dalam kaitan di atas, dikabarkan bahwa Umar pernah menolak memberikan zakat kepada dua orang muallaf yang telah mendapat rekomendasi dari khalifah Abu Bakar. Penolakkan terhadap permohonan dua orang muallaf tersebut disertai dengan penegasan Umar, seperti dikemukakan Rasyid Ridha:
هذا شيء كان يعطيكموه رسول الله تأليفا لكم فأمّا اليوم فقد أعزّ الله الإسلام وأغني عنكم فإنشئتم على الإسلام وإلاّ فبيننا وبينكم السيف
Ini adalah sesuatu (perkara) yang diberikan Rasul kepada kamu dahulu –dengan tujuan—untuk melunakkan hati kamu. Sekarang Allah telah meninggikan Islam dan kamu tidak diperlukan lagi. Jika kamu tetap pada Islam (terserah kamu) dan jika tidak maka di antara kami dan kamu adalah pedang.
Menurut pendapat Umar, agaknya, bagian muallaf diberikan hanya pada saat Islam masih lemah. Menurutnya, bahwa hukum untukmemberikan bagian zakat kepada muallaf disyariatkan disebabkan suatu ‘illah. Oleh karena ‘illah itu telah hilang, maka hukum itu tidak diterapkan lagi.
Dalam kasus muallaf ini, nampaknya Umar tidak melihat kemaslahatan untuk meneruskan pemberian zakat kepada orang-orang (muallaf ) yang pernah menerima sebelumnya.
Kebijaksanaan Umar dalam kasus ini (begitu juga dalam kasus-kasus lain, seperti tidak menerapkan hukuman potong tangan terhadap pencuri, kasus rampasan perang, memperberat hukuman bagi pemabuk, menetapkan jatuh talak tiga yang diucapkan dalam satu ucapan) bertujuan untuk menegakkan keadilan dan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat.
Salah satu kesimpulan penting dari sejumlah ijtihad Umar, adalah pemahamannya terhadap hukum secara kontekstual. Ia tidak terpaku kepada nash-nash hukum secara literal dan parsial, tapi ia lebih mementingkan jiwa nash secara keseluruhan. Pemahaman hukum seperti ini setiap saat sangat diperluka, lebih-lebih di era globalisasi dan informasi sekarang ini. Pendirian sementara orang hanya satu aliran hukum saja yang benar dan berlaku di semua tempat dan sepanjang waktu sangat tidak menguntungkan umat Islam yang meyakini bahwa syarat Islam relevan untuk semua waktu dan tempat.
Dengan mengedepankan prinsip kemaslahatan, seperti yang dilakukan Umar, akan lebih efektif dalam upaya ”membumikan” pesan-pean Tuhan, terutama dalam hal yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat (mu’amalat) di satu pihak, dan akan membuat umat Islam menjadi terbuka terhadap perubahan dan pembaharuan hukum di lain pihak.
Pada sisi lain, prinsip maslahat yang dianut hukum Islam, memberi peluang terjadinya perbedaan tampilan karena berlainan maslahat. Hal ini pernah disinggung oleh Hasbi Ash-Shiddieqy apa yang maslahat bagi Hijaz belum tentu maslahat bagi Irak. Apa yang maslahat bagi Timur Tengah belum tentu maslahat bagi Indonesia. Maksudnya, Tidaklah sama ‘urf dari setiap bangsa. Masing-masing bangsa, lanjut Hasbi, mempunyai ‘urf sendiri-sendiri yang merupakan bagian dari struktur kebudayaan yang mereka miliki. Sedangkan karakter suatu kebudayaan dibentuk oleh lingkungan alam sekitarnya. Karena itu, masih menurut Hasbi, kebudayaan Timur Tengah yang ditempa oleh lingkungan alam yang gersang tentu tidak sama dengan karakter kebudayaan yang indah dan lembut. Hasbi mencontohkan, bagi orang Indonesia memakai pakaian yang ringkas (bukan minim) tidak akan membahayakan kesehatan, tetapiu bagi orang Arab akan fatal akibatnya.
Yang diinginkan Hasbi dari pernyataan-pernyaannya di atas adalah supaya umat Islam di berbagai negara membina hukum Islam (fikih)nya sesuai dengan kultur dan ‘urf setempat, selama tidak bertentangan dengan jiwa syariat.
4. Ditetapkan secara bertahap
Prinsip penetapan hukum secara berangsur-angsur nampak sekali dalam proses pewahyuan hukum-hukum syara’. Allah --melalui Rasul-Nya-- tidak menetapkan hukum sekaligus, tetapi melalui tahapan yang mehabiskan waktu hampir 23 tahun. Ayat-ayat hukum diturunkan, begitu juga kemunculan hadis Nabi, umumnya, sejalan dengan adanya kejadian atau peristiwa yang membutuhkan jawaban hukum. Karena demikian, setiap ketentuan hukum memiliki latar belakang kelahirannya yang khas.
Proses penetapan hukum yang secara berangsur-angsur serta adanya peristiwa-peristiwa tertentu yang mengirinya, ternyata, membantu kaum muslim waktu itu untuk lebih mudah memahami dan mengingat materi-materi hukum yang telah disyariatkan. Selain itu, maksud diturunkan hukum tahap demi tahap, agar seiring dengan kemaslahatan manusia. Dengan cara bertahap, ketentuan hukum yang berat (mengerjakan atau meninggalkan sesuatu) akan terasa lebih ringan. Contoh, proses diharamkannya khamar. Seperti diberitakan, bagi masyarakat sebelum Islam, minuman khamar adalah sesuatu kebangaan dan lambang kehormatan. Dalam kondisi seperti itu, tentu, akan sangat sulit menghentikannya. Karena itu, pada mulanya al-Qur`an hanya memberi suatu isyarat terselubung tentang kejelekan khamar yang dilukiskannya sebagai rizki yang tidak baik. Kemudian al-Qur`an memberi informasi bahwa khamar mengandung mudarat (dosa) di samping beberapa manfaat.
Penjelasan ini mengubah anggapan kaum muslim yang mengira khamar sebagai suatu kehormatan. Beberapa orang telah meninggalkannya, tetapi masih ada yang terus mengkonsumsinya, bahkan ada yang shalat dalam keadaan mabuk hingga al-Qur`an menegaskan (melarang) agar orang yang sedang mabuk jangan mengerjakan shalat. Larangan ini jelas mempersempit kebolehan meminum khamar.
Pada saat kehidupan masyarakat muslim di Madinah sudah mapan, dengan tegas Allah mengharamkan khamar dan menganggapnya sebagai perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan.
Pengharaman khamar secara periodik ini merupakan pelajaran penting, dimana pembentukan kondisi masyarakat yang siap menerima ketetapan-ketetapan Islam harus menjadi prinsip utama dan pertama dalam upaya penerapan norma-norma hukum Islam. Di samping itu, harus senantiasa mengantisipasi persoalan-persoalan baru yang bakal muncul dari suatu tindakan, sekalipun tindakan itu bertujuan baik dan diizinkan syarak. (Di sinilah letak urgensi sadd al-dzarî’ah sebagai salah satu metode penetapan hukum Islam). Andaikan pengharaman khamar tidak secara bertahap, bisa diduga, tentu, akan menimbulkan ketegangan, konflik, kesulitan, bahkan tidak mustahil taklif itu tidak akan dipatuhi. Tetapi dengan cara bertahap, suatu aturan (taklif) akan lebih mudah diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat (seperti kasus pengharaman khamar di atas), apalagi jika mereka mampu melihat dan merasakan manfaatnya.

5. Menyedikitkan Beban dan Aturan
Dalam suatu riwayat dijelaskan, ketika Rasulullah mengajarkan kewajiban haji kepada para sahabat, lalu salah seorang yang hadir mengajukan pertanyaan. ”Ya Rasulallah, apakah kewajiban haji itu tiap tahun?” Rasul menjawab: ”kalau pertanyaan itu saya jawab ”ya”, maka haji itu menjadi wajib untuk tiap-tiap tahun. Dan bila wajib, kamu tidak akan sanggup menunaikannya.”
Agaknya, kewajiban haji yang hanya sekali seumur hidup, bertujuan untuk tidak memberi beban kepada mukallaf di luar kemampuannya. Seperti diketahui, dalam melaksanakan ibadah haji membutuhkan pengorbanan yang banyak; seperti fisik, harta, dan waktu. Tak diragukan lagi, hal ini jelas akan memberatkan banyak orang. Karena itulah Allah mewajibkan hanya sekali saja seumur hidup. Dan, itupun untuk orang yang mampu saja.
Dalam kaitan ini Allah mengingatkan orang-orang yang beriman agar jangan banyak bertanya tentang suatu ketentuan hukum, yang apabila diterangkan justru akan memberatkan.
Begitu juga dengan aturan-aturan hukum, khususnya dalam bidang muamalat, sangat sedikit dibanding dengan persoalan-persoalan muamalat (masalah kemasyarakatan), dan yang langsung datang dari Allah terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak pula secara rinci seperti dalam hal ibadat. Karena sifatnya yang demikian itu, dalam bidang muamalat, berlaku prinsip umum yaitu:
الأصل فى الأشياء الإباحة حتى يدلّ الدليل على التحريم
Pada dasarnya semua perbuatan boleh dilakukan, kecuali tentang perbuatan itu telah ada larangan .
Dengan demikian, prinsip dasar muamalat adalah kebolehan (jâ`iz atau ibâhah). Artinya, semua perbuatan yang termasuk ke dalam kategori muamalat boleh dilakukan asal saja tidak ada larangan melakukan perbuatan itu. Karena sifatnya demikian, hukum Islam, dalam masalah ini tidak akan mengalami benturan dalam menghadapi perubahan zaman. Dan, dalam bidang ini dapat saja dilakukan modernisasi selama modernisasi itu sesuai, atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan jiwa (prinsip dasar) Islam. Contoh, dalam masalah ‘aqd (transaksi). Tidak ada aturan resmi atau formal yang harus diikuti untuk menilai sahnya suatu transaksi, melainkan, sebagaimana isyarat al-Qur`an, cukup dengan kerelaan kedua belah pihak yang mengadakan transaksi.
Aturan yang tidak banyak dan hanya menyangkut pada hal-hal yang pokok, ternyata memberikan ruang gerak bagi hukum Islam dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, aturan yang hanya berupa prinsip-prinsip pokok itu akan memberikan lapangan yang luas bagi manusia untuk melakukan ijtihad, sehingga hukum Islam tidak kaku.


METODE SADD AL-DZARÎ’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM DALAM MENGHADAPI BERBAGAI PERUBAHAN SOSIAL

Pendahuluan

Secara historis Hukum Islam sering mengalami format yang berbeda untuk objek tertentu. Perbedaan ini, antara lain, disebabkan karena terjadinya perubahan sosial. Ziarah kubur dilarang Rasulullah saw., kemudian dianjurkan. Umar bin al-Khaththab adalah figur yang sering melakukan modifikasi hukum Islam terkait dengan terjadinya perubahan sosial.

Sejalan dengan terjadinya perubahan sosial yang semakin drastis sekarang ini menuntut umat Islam harus arif. Produk hukum yang ditetapkan tidak boleh hanya berfokus pada legal formal suatu tindakan, tetapi antisipasi terhadap dampak dari tindakan tersebut juga harus dipertimbangkan. Pengambilan keputusan dengan menitikberatkan pada akibat suatu tindakan dalam teori hukum Islam disebut sadd al-dzarî’ah

A. Terminologi Sadd al-Dzarî’ah dan Dasar Hukumnya

1. Pengertian Sadd al-Dzarî’ah

Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, dalam bukunya I’lâm al-Muwaqqi'în, mengemukakan bahwa dzarî’ah adalah:

ما كان وسيلة وطريقا إلى الشيء

Segala sesuatu yang menjadi perantara, penghubung atau jalan menuju sesuatu.

Ungkapan "الشيء" dalam definisi di atas mengandung pengertian umum dan netral, baik perantara menuju sesuatu yang diperintahkan maupun sesuatu yang menuju perbuatan yang dilarang.

Kendatipun Ibnu Qayyim netral dalam memberi definisi dzarî’ah, namun dalam penerapannya tidak demikian. Dia, seperti pakar-pakar hukum Islam lainnya, lebih cenderung menyoroti dzarî’ah dari segi yang menuju pada hal-hal yang negatif.[1] Kitabnya yang memuat paparan tentang persoalan ini dimulai dengan judul "سدّ الذريعة". Hampir seratus contoh dzarî’ah yang manshûsh dikemukaknnya, semuanya mengarah pada kemafsadatan (sadd al-dzarî’ah).

Berbeda dengan pengertian dzarî’ah yang dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim, al-Syâthibî, lebih menitikberatkan pengertian dzarî’ah pada sesuatu (jalan) yang menuju pada yang dilarang serta mengandung kemafsadatan.[2] Dalam kalimat al-Syâthibî sendiri tertulis:

التوسّل بما هو مصلحة إلى مفسدة

Suatu tindakan yang mengandung kemaslahatan menuju suatu kemafsadatan. [3]

Maksudnya, seperti dijelaskan al-Syâthibî, seseorang melakukan suatu tindakan yang pada dasarnya dibolehkan, bahkan kemungkinan diperintahkan. Akan tetapi, lanjut al-Syâthibî, tindakan itu menyebabkan timbulnya sesuatu (efek) yang tidak dibolehkan (ghair al-masyrû’).[4]

Memaknai dzarî’ah seperti yang diajukan al-Syâthibî dalam definisinya, menurut beberapa pakar ushul fikih adalah memahami dzarî’ah dalam arti khusus. Sementara, definisi dzarî’ah seperti yang dikemukakan oleh al-Qarâfi dan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah adalah memahami dzarî’ah dalam pengertian umum

Berdasarkan definisi dan penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa terma dzarî’ah di kalangan ahli ushul fikih terdiri dari dua kategori (bentuk). Pertama, dzarî’ah apa saja yang akan membawa pada perbuatan yang dilarang. Dzarî’ah jenis ini merupakan-perbuatan yang akan menimbulkan akibat buruk, karenanya, harus ditutup atau tidak boleh diberi peluang demi menghindari bahaya. Menutup atau melarang dzarî’ah jenis inilah yang kemudian disebut sadd al-dzarî’ah.

Kedua, dzarî’ah kepada perbuatan baik dan mengandung kemaslahatan, seperti anjuran atau kewajiban keagamaan. Dzarî’ah jenis ini termasuk perbuatan yang dituntut melaksanakannya. Contoh, shalat Jum'at hukumnya wajib, maka berusaha untuk sampai ke mesjid dengan menghentikan semua kegiatan juga diwajibkan. Dzarî’ah yang disebut terakhir ini, oleh sebagian ulama, disebut juga dengan fath al- dzarî’ah.[5]

Sementara itu, sebagian ulama ushul fikih menamai dzarî’ah dengan muqaddimah[6] (pendahuluan dari suatu pekerjaan).

Sementara, Amir Syarifuddin, lebih jelas, membedakan muqaddimah dan dzârî'ah dengan melihat pada sasaran atau arah yang dituju suatu wasîlah. Apabila arah atau sasaran yang dituju suatu wasîlah adalah perbuatan yang diperintahkan, maka wasîlah tersebut dinamakan muqaddimah. Jika sasaran yang dituju suatu wasîlah adaah perbuatan yang dilarang dinamakan dzarî'ah.

2. Ide-ide sadd al-dzarî'ah dalma nâsh (al-Qur`an atau Hadis)

Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung ide sadd al-dzari’ah adalah firman surat al-An'âm: 108

ولا تسبّوا الّذين يدعون من دون الله فصبّوا الله عدوّا بغير علم

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.

Pada dasarnya tidak ada salahnya memaki berhala (sembahan kaum musyrik) bahkan menghancurkannya seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim AS.[7] Akan tetapi karena, hampir dapat dipastikan, mereka akan membalas memaki Allah, bahkan dengan makian yang lebih kasar, maka Allah melarang hal di atas untuk menutup dzarî’ah yang menyebabkan kaum musyrik memaki-Nya.

Adapaun hadis-hadis nabi yang erat kaitannya dengan sadd al-dzarî’ah di antarnya hadis yang diterima dari Ibn Abbâs RA. Rasulullah SAW. bersabda:

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله يقول: لا يخلونّ رجل بامرأة إلاّ ومعها ذو محرم ولا تسافر المرأة إلاّ ومعها ذو محرم (متّفق عليه)

Dari Ibnu ‘Abbâs RA. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersunyi-sunyi (khalwat) dengan seorang wanita, kecuali didampingi (mahram) nya, dan wanita itu tidak boleh bepergian kecuali bersama muhrimnya.” (Muttafaq ‘alaihi). [8]

Larangan khalawat dalam riwayat di atas adalah untuk menghindari larangan utama berupa pebuatan cabul atau perzinaan. Akan tetapi berduan antara laki-laki dan perempuan di tempat sepi (khalwât) dapat membawa kepada perbuatan zina, atau sekurang-kurangnya menimbulkan kecurigaan terjadinya zina. Karena demikian, maka khalwât sekalipun ketika membaca al-Qur'an, atau perjalanan waktu mengerjakan haji, dan atau, mengunjungi orang tua,[9] tidak dibolehkan demi menghindari (sadd) dzarî’ah yang menyebabkan terjadinya zina.

Sementara, tindakan-tindakan sahabat Nabi yang tampaknya, didasarkan pada pertimbangan sadd al-dzarî’ah di antaranya adalah talak total (al-battah) dinyatakan jatuh tiga talak

Umar berpendapat, bahwa talak total (talak tiga yang dijatuhkan dengan sekali ucapan, sekaligus) dihitung jatuh tiga talak. Padahal, di zaman Rasul dan Abu Bakar tidak demikian, artinya hanya satu talak yang dianggap dan dinyatakan jatuh.[10]

Menurut para ulama, pertimbangan Umar dalam hal ini adalah untuk menghindari penjatuhan talak yang kurang merealisasikan tujuan dan fungsi disyariatkannya talak. Umar melihat, pada waktu itu, orang sudah begitu mudah mengucapkan talak tiga dengan sekali ucap. Barangkali, karena mereka mengetahui, bahwa talak yang jatuh hanya satu dan mereka memiliki hak rujuk. Menurut Umar, penjatuhan talak seperti ini adalah suatu tindakan main-main dan menganggap enteng persoalan agama. Karenanya, harus diberi sanksi dengan menetapkan jatuh tiga talak sekaligus. Jadi, tampaknya, ketentuan ini dimaksudkan Umar untuk menutup dzarî’ah agar seorang suami tidak menggunakan hak talak yang dimilikinya secara serampangan.[11]

B. Pembagian Dzarî’ah

Dilihat dari segi jenis akibat yang ditimbulkan dzarî’ah,, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah membagi dzarî’ah kepada dua.[12]

a. Dzarî’ah yang jelas membawa kepada suatu kemafsadatan

Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah mencotohkan seperti meminum minuman yang memabukkan semisal khamar akan menyebabkan mabuk, dan mabuk itu adalah suatu kemafsadatan. Jika menggunakan metode kias, maka dalam hal ini, termasuk penggunaan obat-obatan terlarang, seperti heroin, narkotik,[13] dan sebagainya akan menyebabkan akal kehilangan keseimbangannya ("fly"). Dzarî’ah kategori ini dilarang berdasarkan nash (al-Qur'an dan hadis), karenanya ulama sepakat mengharamkannya secara esensi (harâm lidzâtih).

b. Dzarî'ah yang pada dasarnya dibolehkan, bahakn dianjurkan, akan tetapi menjadi perantara (penyebab) terjadinya sesuatu yang dilarang.

Dzarî’ah bentuk kedua ini, oleh Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dibagi lagi kepada:[14]

1) Dzarî'ah yang sengaja dilakukan untuk suatu kemafsadatan

Dzari'ah dalam bentuk ini adalah perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan, atau, bahkan, dianjurkan, tetapi digunakan sebagai dzarî’ah menuju suatu perbuatan yang dilarang. Contoh, seseorang menikahi wanita yang telah ditalak tiga suaminya. Pernikahan tersebut bertujuan agar bekas suami, yang telah mentalak tiga, wanita itu boleh menikah lagi dengan bekas istri nya. Akad, yang lazim disebut dengan nikah tahlil, ini dilarang karena sengaja dijadikan jalan menuju perbuatan yang dilarang, meskipun pada dasarnya melakukan akad nikah tidak dilarang.

Dalam kaitan ini, al-Syâthibî mencontohkan seseorang yang menghibahkan sebagaian hartanya yang telah mencapai nishâb (jumlah harta minimum yang dikenakan zakat) dan telah masuk haul (jatuh tempo bagi pemilik harta untuk mengeluarkan zakat) dengan tujuan menghindari zakat.[15] Hibah seperti ini dilarang dengan dasar pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunat menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.[16]

2) Dzarî’ah (perbuatan) yang sejak semula tidak dimaksudkan untuk suatu kemafsadatan.

Dzarî’ah jenis ini adalah perbuatan-perbuatan yang tidak dilarang, bahkan mungkin dianjurkan dan tidak dimaksudkan untuk suatu kemafsadatan. Akan tetapi, biasanya perbuatan tersebut menimbulkan kemafsadatan. Contoh, memaki sembahan kaum musyrik pada dasarnya tidak dilarang. Namun karena efek dari makian itu diperkirakan, akan mengundang kemarahan kaum musyrik, dan menyebabkan mereka balik memaki Allah, maka perbuatan itu dilarang.

Dilihat dari segi kualitas mafsadat yang ditimbulkan dzarî’ah, al-Syâthibî[17] membagi dzarî’ah kepada empat kategori, sebagaimana dijelaskan para ulama ushul fikih[18] yakni:

a. Dzarî’ah (perbuatan) yang secara qath’î (pasti) mendatangkan mafsadat.

b. Dzarî’ah yang megandung kemungkinan akan membawa pada mafsadat, tetapi kemungkinannya sangat kecil karena jarang terjadi.

c. Dzarî’ah yang mengandung persangkaan kuat (ghalabat al-zhann) akan mendatangkan mafsadat, tetapi tidak sampai pada kategori keyakinan yang pasti ('ilm al-yaqîn).

Dalam hal ini, persangkaan kuat disamakan dengan keyakinan yang pasti. Sebab sadd al-dzarî’ah mengharuskan berhati-hati sedapat mungkin untuk menghindari kemafsadatan. Sementara, kehati-hatian (ihtiyâth) mengharuskan menggunakan persangkaan kuat (ghalabath al-zhann). Karenanya, setiap perbuatan yang termasuk dalam kategori dzarî’ah ini harus dilarang.[19]

d. Dzarî’ah yang mengandung kemungkinan akan mendatangkan mafsadat, namun kemungkinannya tidak sampai pada tingkat dugaan kuat (ghalabat al-zhann).

Dzarî’ah kategori ini biasanya terjadi dalam bentuk jual beli yang mungkin dijadikan jalan (cara) untuk melakukan praktek riba. Contohnya seseorang membeli suatu barang dengan harga tertentu secara kredit. Kemudian yang bersangkutan menjual kembali secara tunai kepada kreditor dengan harga yang jauh lebih murah, maka perbuatan ini dilarang. Alasannya, perbuatan tersebut mengandung kemungkinan (berpotensi) mendatangkan mafsadat berupa jual beli yang mengandung riba. Misalnya, seseorang yang sangat membutuhkan uang karena didesak oleh suatu keperluan bisa dieksploitasi orang-orang yang memiliki uang melalui jual beli untuk tujuan yang mafsadat. Al-Syâthibî menyebut jual beli ini dengan transaksi jual beli yang semu (لغو لا معنى لها)[20] dimana barang yang ditransaksikan seakan-akan tidak ada, sementara kreditor memperoleh keuntungan tanpa harus kehilangan barang dagangannya.

Dzarî’ah bentuk keempat ini, seperti contoh di atas, termasuk masalah yang dipersilisihkan ulama fikih, apakah dianggap sebagai dzarî’ah yang akan mengakibatkan mafsadat sehingga transaksi itu batal dan perbuatan itu dilarang.

c. Kehujahan Sadd al-dzarî’ah

1. Ulama yang menerima

Di kalangan Malikiah dan Hanabilah, kaidah sadd al-dzarî’ah dalam hubungannya dengan dalil-dalil fikih merupakan suatu kaidah yang diinduksi dari sejumlah dalil nash, ayat-ayat dan hadis Nabi, yang mendukung untuk suatu pengertian bahwa kaidah ini sejalan dengan tujuan syarak.

Dalam tataran praktis, mazhab Maliki dan Hanbali, memang, banyak menggunakan metode sadd al-dzarî’ah dalam menetapkan hukum.[21] Jadilah metode ini populer di kalangan Malikiyyah dan Hanabilah, dan sering diasosiasikan kepada mazhab mereka.[22]

Meskipun demikian, tidak berarti mazhab lain tidak menerima dan tidak menggunakan etode sadd al-dzarî’ah. Memang secara eksplisit, mazhab lain, seperti Syafi'i dan Hanafi, tidak mencantumkannya di dalam kitab-kitab ushul mereka sebagai dasar, yang berdiri sendiri, dalam menetapkan hukum.[23] Akan tetapi kenyataannya mereka juga menggunakan metode sadd al-dzarî’ah, paling tidak dasar-dasarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan hukum-hukum (fikih) yang mereka tetapkan untuk kasus-kasus tertentu.

Contoh, ulama mazhab Hanafi menganjurkan agar orang yang melakukan puasa pada yaum al-Syakk (hari yang meragukan, apakah bulan Sya’ban telah berakhir dan Ramadhan telah masuk atau belum) sedapat mungkin dilakukan secara diam-diam, apalagi dia seorang pemuka agama, sehingga ia tidak dituduh melakukan pelanggaran terhadap larangan Rasul.[24] Dalam suatu hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari Rasulullah SAW. bersabda:

عن أبي إسحاق عن صلة بن زفر قال عمّار: من صام هذا اليوم فقد عصى أبا القاسم صلّى الله عليه وسلّم (رواه البخاري)

Dari Abî Ishâq dari Shalah bin Zufar, ‘Ammar berkata: Siapa yang puasa pada hari ini (yaum al-syakk), berarti ia telah mengingkari Abâ al-Qâsim (Muhammad) SAW. (HR. Bukhari)[25]

Demikian pula ulama mazhab Syafi'i, dalam masalah-masalah tertentu, agaknya, juga menggunakan metode sadd al-dzarî’ah. Misalnya, Imam al-Syāfi`î sendiri memberi toleransi pada seseorang yang karena uzur, seperti sakit dan bepergian mengganti shalat Jum’at dengan shalat Zuhur. Namun Imam Syafi’i mengingatkan, sedapat mungkin shalat Zhuhur tersebut dikerjakan secara diam-diam. Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang tidak berpuasa karena adanya uzur. Orang tersebut hendaknya jangan makan atau minum di tempat-tempat terbuka agar tidak terlihat oleh orang yang tidak mengetahui keadaannya.[26]

Melakukan dua hal di atas secara sembunyi-sembunyi, memberi isyarat bahwa Imam Al-Syafi'i juga berhujah dengan sadd al-dzarî’ah, walaupun dalam bobot yang terbatas, seperti halnya ulama mazhab Hanafi.

Jadi, perbedaan antara ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak dengan ulama Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain terletak pada penerapannya dalam masalah-masalah furû`. Hal ini disebabkan karena perbedaan persepsi tentang ada atau tidak adanya manâth al dzarî’ah.[27] Misalnya, terjadi pada perbuatan yang mungkin akan mengakibatkan terjadinya kemafsadatan. Ulama mazhab Hanafi dan Syafi`i memandang suatu perbuatan tidak dilarang sepanjang tujuannya merupakan sesuatu yang dibolehkan. Akan tetapi, jika ada indikasi yang jelas, bahwa perbuatan itu bertujuan kepada yang dilarang (diharamkan), maka merekapun sepakat bahwa perbuatan tersebut harus dilarang[28] karena menjadi dzarî’ah kepada yang dilarang.

Perbedaan lainnya, seperti telah ditegaskan, bahwa kedua mazhab ini tidak mencantumkan sadd al-dzarî’ah di dalam kitab ushul fikih mereka sebagai hujah yang berdiri sendiri, tetapi digolongkan ke dalam cakupan metode ijtihad lainnya. Di kalangan ulama Hanfiyah tercakup ke dalam istihsan. Sementara, di kalangan ulama Syafi'iyah tergolong ke dalam cakupan kias.[29]

Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa mayoritas ulama menggunakan metode sadd al-dzarî’ah dalam menetapkan hukum syarak.

2. Ulama yang menolak

Kelompok ulama yang tidak menerima sadd al-dzarî’ah adalah mazhab Zhahiri. Mereka menolak dan menggugat eksistensi sadd al-dzarî’ah sebagai salah satu metode dalam mengambil istinbâth hukum syarak. Penolakan ini berangkat dari pemikiran bahwa metode sadd al-dzarî’ah adalah salah satu dari berbagai bentuk argumen, yang menurut mereka, hanya didasarkan pada akal (al-ra`yi) semata.

Menurut mereka, penentuan mengenai halal atau haramnya sesuatu merupakan hak Allah semata-mata.[30] Ketentuan-ketentuan mengenai halal atau haram dimaksud terkandung di dalam syariat yang diturunkan Allah. Sementara, syariat itu sendiri telah diturunkan secara tuntas dan sempurna (QS. al-Maidah: 3).

Selain itu, tampaknya, area dzarî’ah dalam pandangan Zhahiriyah hanya sebatas menjauhi yang syubhat karena khawatir terbawa pada yang haram. Padahal, jika dicermati wacana dzarî’ah yang berkembang di kalangan Malikiyah dan Hanabilah, secara umum, meliputi dua hal. Pertama, segala bentuk sarana (jalan) yang akan membawa kepada yang mafsadat (haram). Kedua, segala sarana (jalan) yang akan menyampaikan kepada sesuatu yang maslahat (diperintahkan). Yang disebut pertama dituntut meninggalkannya, kemudian dinamakan sadd al-dzarî’ah. Dan, yang disebut terakhir dituntut mengerjakannya, kemudian dinamakan fath al-dzarî’ah.

D. Urgensi Metode Sadd al-Dzari’ah Dalam Merespon Berbagai Perubahan Sosial

Adalah suatu realita, bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Apalagi dewasa ini. Dengan semakin berkembangnya arus informasi dan jaringan komunikasi sebagai salah satu bentuk wujud berkembangnya ilmu pengetahuan, maka mau tidak mau akan terjadi apa yang disebut dengan proses modernisasi. Suatu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa.

Dalam menyikapi permasalahan itu umat Islam harus arif. Ketetapan-ketetapan atau produk hukum yang ditetapkan tidak boleh menghambat kemajuan zaman di satu sisi, dan tetap memberi kemaslahatan bagi umat manusia, hususnya umat Islam, sesuai dengan kebutuhan zaman di sisi lain.

Memang, masalah-masalah yang muncul sekarang ini tidak semuanya baru, mungkin secara kebetulan, mirip, atau bahkan sama dengan masalah-masalah yang sudah pernah dibahas dan ditetapkan hukumnya oleh ulama terdahulu. Meskipun demikian, terhadap kasus-kasus semisal ini, para ulama dan badan legislasi hukum Islam yang memiliki otoritas, harus mempelajari dan meninjau ulang ketetapan hukum yang lebih maslahat untuk zaman sekarang. Untuk menghindari produk hukum yang hanya berorientasi legal formalnya suatu tindakan, maka metode sadd al-dzarî’ah menjadi sangat urgen untuk menghadapi berbagai perubahan sosial beserta dampak-dampaknya. Berikut dua persoalan aktual yang akan menjadi sorotan dalam tulisan ini, meskipun hanya sekedar contoh dari sekian banyak permasalahan hukum yang sedang dan akan dihadapi umat Islam sejalan dengan terjadinya perkembangan zaman dan perubahan sosial.

Pertama, melihat aurat pada media. Sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada larangan yang tegas dari al-Qur`an maupun hadis Nabi berkenaan dengan masalah ini.

Dari segi ini, tidak ada alasan untuk mengharamkan melihat aurat pada media melalui layar atau film. Namun, jika dicermati lebih jauh, agaknya, akan lebih bijak jika tinjauan dalam masalah ini tidak hanya berfokus pada ada atau tidaknya dalil yang melarang, melainkan lebih menitikberatkan pada efek dari perbuatan tersebut (al-nazhr fî al-m’âlât).

Logikanya, melihat aurat pada media, apalagi termasuk porno, diduga keras akan membangkitkan syahwat. Sementara orang yang syahwatnya bergejolak dikhawatirkan akan mendorongnya melakukan zina, apalagi bagi orang yang tidak memiliki saluran yang sah, atau paling tidak akan merusak fikirannya, lebih-lebih bagi anak-anak remaja dalam kondisi jiwa yang masih labil. Maka, dalam upaya kehati-hatian (ihthiyâthî) dan tindakan antisipasi, maka perbuatan tersebut harus dilarang. Pelarngan ini didasarkan pada sadd al-dzarî’ah (melarang sesuatu yang diperkirakan akan mendatangkan mafsadat).

Kedua, perkawinan beda agama. Secara historis perkawinan antara dua lawan jenis yang berlainan agama sering terjadi, dan sejak awal Islam persoalan ini menjadi salah satu yang diopinikan di kalangan ahli hukum (fuqaha’). Sebagian fuqaha’ maupun mufassirin (ahli tafsir) membolehkan dengan beberapa catatan dan sebagian yang lain melarang dengan beberapa catatan pula. Di Indonesia, kasus perkawinan antar agama yang berbeda cukup sering dijumpai, walaupun sering mendapat protes dari berbagai kelompok Islam. Bahkan, secara legislasi Majlis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya sudah melarang praktek perkawinan ini.

Dalam pasal 40 Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara jelas dirumuskan tentang larangan melangsungkan perkawinan antara dua orang yang berlainan agama. Redaksi pasal itu berbunyi: Dilarang melangsungkan perkawinan dengan … ( c ) seorang wanita yang tidak beragama Islam. Senada dengan pasal ini terdapat juga rumusan yang dijelaskan pada pasal 44, yaitu: Seorang wanita Islam dilarang melakukan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam.

Jika dihubungkan dengan perkawianan antar agama dalam konteks ke-Indonesiaan, dapat diduga bahwa larangan –baik MUI maupun KHI-- tersebut lahir atas pertimbangan kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan. Terutama melindungi akidah keturunan (anak). Sebab, secara psikologis ibu lebih dekat kepada anak dan lebih berpengaruh terhadap mereka. Oleh karena itu, perkawinan antara pria muslim dengan wanita nonmuslim, katakanlah ahl al-kitâb, yang semula dimaksudkan untuk dakwah Islam, tidak dapat diharapkan. Bahkan justru sebaliknya yang akan terjadi, yakni dapat menggoyahkan akidah khususnya keturunan mereka.

Selain di atas, perkawinan antara agama tersebut, agaknya, kurang dapat merealisasikan tujuan perkawinan. Tujuan perkawinan menurut al-Qur`an adalah untuk mendapatkan ketenangan. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surah al-Rum:21 berikut:

ومن اياتـه أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها

Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tenang kepadanya.

Ketenangan yang disebut pada ayat di atas akan dapat direalisasikan apabila terdapat kesamaan emosional. Termasuk dalam hal ini, menurut Yusuf Ali, adalah kesamaan agama kedua suami istri.[31] Apabila kesamaan ini tidak ditemukan, dapat diduga, rumah tangga tersebut akan sering menghadapi konflik. Dan, tidak kalah pentingnya, tujuan perkawinan dalam Islam tidak sekedar mencari penyaluran seksual belaka, tetapi merupakan sarana mewujudkan masyarakat muslim yang saleh.

Mengingat mafsadat di atas, agaknya, dapat dikatakan bahwa larangan MUI dan KHI tentang perkawinan antar agama bertolak dari: al-nazhr fî al-mâlât (analisis dampak hukum) dari perkawinan muslim dengan nonmuslim. Dengan kata lain pelarangan di atas bertujuan menghindari akibat buruk yang diduga akan terjadi jika perkawinan beda agama dibolehkan. Pelarangan ini sesuai dengan prinsip ushul fiqh, menutup jalan pada sesuatu yang membahayakan. Hal ini sesuai dengan kaidah:

للوسائل حـكم المقاصــد

Sesuatu yang menjadi sarana atau perantara (pada sesuatu) maka hukumnya sama dengan hukum yang dituju.

E. Simpulan

1. Dalam kaitannya dengan dalil syarak, agaknya, perlu dibedakan antara dzarî`ah yang dimaksud, dengan yang tidak dimaksudkan sebagai dalil atau hujah syarak.

2. Dzarî`ah yang dimaksudkan sebagai dalil syarak adalah dzarî`ah yang tidak disinggung oleh nash tetapi mengarah kepada hukum yang dimaksud. Misalnya, tidakan-tindakan yang dapat merangsang bangkitnya syahwat, merupakan dzarî`ah terhadap perbuatan zina. Tetapi dalam hal ini tidak ada nash yang melarangnya. Meskipun demikian, karena mengarah kepada hukum yang dilarang, maka larangan yang berlaku pada yang dituju (zina) dapat diterapkan di sini didasarkan pada dalil sadd al- dzarî`ah.

3. Penggunaan sadd al- dzarî`ah sangat efektif untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif dari perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Sebab, metode ini tidak hanya berfokus pada legal formal suatu tindakan, tetapi juga pada akibat suatu tindakan.

Wallâhu a’lam bi al-shawâb