Foto

Foto
Drs.Mursal.M.Ag

Selasa, 30 Maret 2010

PENGERTIAN SYARIAT, FIKIH DAN HUKUM ISLAM

1. Syariat
Secara etimologis, kata syariat, (dalam bahasa Arab, aslinya, syarî’ah/ شريعة) berasal dari kata syara’a ( شرع) yang berarti jalan ke tempat keluarnya air untuk minum atau tempat lalu air di sungai. Dalam perkembangannya, kata syari’ah digunakan orang Arab untuk konotasi jalan lurus ( الطريقة المستقيمة ).
Dalam al-Qur`an kata syara`a, dalam berbagai bentuknya diungkapkan sebanyak lima kali, yaitu surat al-Maidah/ 5: 48, al-A`raf/ 7: 163; al-Syûra/ 42: 13 dan 21, dan dalam surat al-Jâtsiyah/ 45: 18. Kata syariat pada ayat-ayat tersebut mengandung arti jalan yang lurus dan jelas menuju kebahagiaan hidup. Pengertian ini menurut para ahli, identik dengan pengertian agama (al-din/ الدّين ). Karena hanya agamalah yang dapat membimbing manusia kepada kebenaran hakiki untuk memperoleh kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Firman Allah dalam surat al-Jâtsiyah ayat 18.
ثمّ جعلناك على شريعة من الأمر فاتّبعها
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu.
Dalam surat al- Syûra ayat 13 ditegaskan:
شرع لكم من الّذين ما وصّى به نوحا والّذي أوصينا إليك ما وصّينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدّين ولا تفرّقوا فيه
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu; tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.
Kata syariat dalam ayat di atas, tampaknya, identik dengan agama, yang mengandung arti mengesakan Allah, mematuhi dan mengimani utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, hari pembalasan, dan mentaati segala sesuatu (perintah dan, atau larangan Allah) yang membawa seseorang menjadi muslim dalam arti sesungguhnya.
Apabila dicermati arti syariat secara bahasa di atas, tampaknya terdapat keterkaitan kandungan makna antara syari’at dengan air, seperti dijelaskan Amir Syarifuddin, bahwa orang yang mematuhi syariat, ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan lahiriah (fisik) sebagaimana Dia menjadikan syariat sebagai penyebab kehidupan jiwa (batiniah) manusia.
Menurut istilah, Mannâ’ al-Qatthân mengemukakan, bahwa syariat adalah:
ما شرع الله لعباده من العقائد والعبادات والأخلاق والمعاملات
Segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-Nya baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun mu`amalah.
Defenisi di atas, tampaknya masih mengacu pada pengertian agama (al-dîn), dimana aspek-aspek pokok ajaran agama (Islam) dimasukkan ke dalam cakupan syariat.
Muhammad ‘Alî al-Sâyis. Berdasarkan kesimpulannya terhadap pendapat para ulama, mengatakan bahwa syari’at adalah:
الأحكام الّتي سنّها الله لعباده ليكونوا مؤمنين عاملين على ما يسعدهم فى الدّنيا والآخرة
Hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah agar manusia beriman dan beramal saleh, yang dapat membuat mereka bahagia di dunia dan di akhirat.
Menurut al-Sâyis, pengertian syari’at seperti ini mengandung tiga dimensi; salah satunya adalah dimensi hukum, yaitu meliputi tindakan-tindakan manusia, seperti ibadah, mu`amalah, hukuman dan lain sebagainya yang termasuk ke dalam kajian fikih. Pengertian inipun masih berorientasi pada pengertian agama.
Sementara, menurut Mahmûd Syaltût, syariat adalah:
هي النّظم الّتى شرعها الله أصولها ليأخذ الإنسان بها نفسه بعلاقاته بربّه وعلاقاته بأخيه المسلم وعلاقاته بأخيه الإنسان وعلاقاته بالكون وعلاقاته بالحياة
Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah atau hasil penalaran atas dasar ketentuan tersebut, untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan umat manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat manusia; sesama muslim atau non muslim, maupun dengan alam sekitarnya.
Pengertian yang dikemukakan Syaltût ini dengan jelas telah memisahkan antara agama dengan syariat. Menurutnya, agama (Islam) terdiri dari dua ajaran pokok, yaitu akidah dan syariat, dimana syariah lebih dikhususkan pada persoalan amaliah. Lebih lanjut, masih menurut Syaltût, aspek akidah merupakan pondasi tempat tumbuh dan berkembangnya syariah. Sedangkan syariah adalah sesuatu yang harus tumbuh dari akidah itu.
Defenisi di atas juga menunjukkan, bahwa syariat --sebagai ketentuan yang mengatur persoalan-persoalan amaliah-- terdiri dari dua kategori; pertama, ketentuan-ketentuan hukum yang secara langsung ditetapkan oleh Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur`an dan Sunnah). Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat abadi dan tidak berubah, karena tidak ada yang punya wewenang merubahnya kecuali Allah.
Kedua, ketentuan-ketentuan hukum hasil kajian para ulama mujtahid yang merujuk pada al-Qur`an dan Sunnah dengan menggunakan metode-metode istinbâth hukum seperti kias, mashlahah al-mursalah, istihsan, sadd al-dzarî’ah ataupun metode ijtihad lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum kategori kedua ini tidak memiliki sifat keabadian dan bisa berubah-ubah dan amat dipengaruhi oleh keilmuan mujtahid yang bersangkutan serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakat.


2. Fikih
Secara lughawi (semantis), kata fikih berasal dari bahasa Arab, fiqh/ فقـه bermakna mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik.
Di beberapa tempat, al-Qur`an menggunakan kata”faqiha/ فقـه ” dalam berbagai bentuknya untuk pengertian yang umum, yaitu pemahaman. Himbauan al-Qur`an "ليتفقّهوا فى الدّين" (untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama) menunjukkan bahwa fikih tidak menegaskan suatu pengertian eksklusif tentang hukum, melainkan suatu pemahaman yang mendalam tentang agama (Islam) secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa awal Islam, istilah fikih belum memiliki arti khusus. Kendati demikian, terminologi fikih mulai mengarah pada kedalaman intensitas keyakinan, tauhid, hukum-hukum dan ajaran Islam lainnya. Keadaan seperti ini menurut kesimpulan Ahmad Hasan, berjalan sampai pada abad kedua Hijriah, dimana terminologi fikih mencakup persoalan-persoalan teologis, akhlak dan hukum. Sebuah buku yang terkenal, al-Fiqh al-Akbar, yang dinisbahkan pada Abu Hanifah (w. 150 H.), menurut Hasan, adalah bukti nyata di mana Abu Hanifah memasukkan persoalan-persoalan akidah, hukum dan akhlak sebagai bagian yang dicakup oleh terminologi fikih.
Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, muatan terminologi fikih tidak lagi bersifat umum, melainkan khusus pada hukum-hukum syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan manusia.
Secara istilah defenisi fikih yang dikemukakan oleh para ulama fikih (fuqahâ`) berkisar:
االعلم بالأحكام الشّرعيّة العمليّة المكتسب من أدلّتها التّفصيليّة
Ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang ditemukan dari dalil-dalilnya yang rinci.
Berdasarkan defenisi di atas, paling tidak ada empat hal yang membedakan istilah fikih, sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman, dengan selainnya, yaitu:
Pertama, fikih adalah suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, sudah jelas, fikih memiliki tema pokok dengan kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip khusus. Karenanya, dalam mengkaji fikih para mujtahid menggunakan metode-metode atau pendekatan tertentu, seperti kias, istihsan, mashâlih al-mursalah, sadd al-dzarî`ah, atau metode ijtihad lainnya.
Kedua, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat. Penggunaan kata " بالأحكام الشرعيّة "(tentang hukum-hukum syariat) menunjukkan bahwa kajian dan ruang lingkup fikih menyangkut ketentuan-ketentuan yang bersifat syar`i dan tidak mencakup persoalan-persoalan yang di luar hukum syarak, seperti hukum-hukum akal. Contoh, satu adalah separoh dari dua, tidak termasuk ke dalam pengertian fikih menurut istilah.
Ketiga, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah.
Kata amaliah menunjukkan bahwa hukum-hukum fikih selalu berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu`amalah. Dengan demikian, hukum-hukum non amaliah, seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan dasar-dasar iman (i`tiqâdiyyah) serta cabang-cabangnya, tidak termasuk ke dalam kajian fikih.
Keempat, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang ditemulkan dari dalil-dalilnya yang tafshîlî.
Artinya, hukum-hukum fikih diambil atau digali dari sumbernya yaitu nash al-Qur`an atau hadis melalui proses istidlâl (pencarian hukum dengan dalil), atau istinbâth (deduksi atau penyimpulan), atau analisis (nazhar). Pengetahuan tentang kewajiban shalat lima waktu, salah satu contoh, tidak termasuk ke dalam pengertian fikih, karena hal ini secara langsung (tekstual) dapat ditemukan di dalam nash.
Adapun kata tafshili, maksudnya adalah satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjukkan kepada suatu hukum dari suatu perbuatan tertentu, apakah haram, wajib, makruh, dan, atau kategori hukum lainnya.
Dari definisi fikih dan penjelasannya di atas dapat dipahami, bahwa fikih --yang menurut Amir Syarifuddin adalah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah-- berbeda dengan syariat. Perbedaan itu dapat dilihat, antara lain dari segi di mana syariat itu bersifat tetap dan --kebenaran serta keadilannya-- pasti karena berasal dari kehendak Allah (sebagai Syâri’ atau Pembuat syariat). Seperti ditegaskan Abu Zahrah, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum syarak. Sementara fikih, tidak bersifat tetap. Fikih bisa saja diubah dan dirombak sesuai dengan perbedaan tempat, perubahan waktu, serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakat di mana fikih itu diterapkan.
Begitu juga kebenaran dan keadilan fikih tidak bersifat pasti, melainkan nisbi (relatif). Sifat fikih yang demikian disebabkan fikih adalah interpretasi terhadap hukum syarak. Satu hal lagi, dan tidak bisa diingkari, berdasarkan fakta sejarah pembentukan fikih, bahwa faktor sosio kultural, politik, dan faktor-faktor lainnya ikut mempengaruhi bagaimana bentuk atau corak suatu fikih.
Meskipun demikian, syariat bukan fikih, akan tetapi keduanya memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Karena, syariat adalah asal, pokok, sari atau inti, ajaran yang ideal serta berlaku secara universal. Sementara fikih, adalah cabang (furû), atau perwujudan dan syariat. Dalam kedudukannya sebagai cabang atau perwujudan dari syariat, fikih harus responsif terhadap persoalan-persoalan di sekitarnya. Dalam kaitan ini, Muhammad ‘Alî al-Sâyis mengatakan bahwa formulasi fikih tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh yang bersifat kultural, dan karenanya, masa berlakunya bersifat temporal sesuai dengan kebutuhan ruang dan zaman tertentu. Konsekuensinya, seperti diutarakan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, perubahan dan perbedaan fatwa atau opini hukum dapat terjadi karena perbedaam waktu, tempat, situasi, tujuan, niat dan adat istiadat. Hal di atas adalah suatu keniscayaan sehingga fikih, sebagai perwujudan syariat memiliki adaptabilitas dengan dinamika kehidupan sosial yang setiap saat terus berubah dan berkembang. Di sinilah letak pentingnya arti fikih bagi syariat. Syariat, sebagai ajaran yang diyakini, selalu up to date (cocok sepanjang zaman), hanya bisa dibuktikan melalui fikih. Konsep-konsep syariat yang ideal --dan untuk kategori hukum yang berhubungan dengan kategori kemasyarakatan umumnya bersifat global-- harus diterjemahkan dalam tataran praktis, wujud nyata atau dibumikan --meminjam istilah Quraish Shihab-- dalam realitas sosial, lagi-lagi melalui fikih.
Dengan demikian, pengembangan syariat sangat tergantung pada fungsi dan pola fikih. Dan, pengamalan hukum-hukum fikih adalah bagian dari pengalaman syariat juga. Dengan ungkapan lain, fikih adalah bagian dari syariat, tetapi bukan syariat itu sendiri.

3. Hukum Islam
Kata hukum dan Islam, keduanya berasal dari bahasa Arab dan digunakan dalam al-Qur`an di beberapa tempat. Akan tetapi, al-Qur`an tidak pernah menggunakan kedua kata ini secara bergandengan. Begitu juga dalam literatur hukum Islam klasik, sejauh yang penulis ketahui tidak pernah menggunakan kata hukum Islam. Ungkapan yang digunakan – yang mengandung konotasi hukum-- biasanya adalah kata syarî’ah al-Islâm, hukum syara’, syarî’ah atau syara’, dan, atau fikih.
Para pakar hukum Islam menduga, bahwa istilah hukum Islam merupakan terjemahan Indonesia dari islamic law, yang sering dijumpai dalam literatur yang berbahasa Barat.
Untuk memudahkan dalam memahami istilah hukum Islam, terlebih dahulu harus dipahami apa pengertian hukum itu sendiri. Memang, tidak mudah untuk membicarakan istilah hukum jika ingin memulainya dengan sebuah defenisi yang memuaskan. Berbagai ahli mengemukakan beragam defenisi tentang hukum sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Keragaman defenisi hukum tersebut, menurut Hart (seorang pemerhati hukum dari Universitas Oxford) sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh perbedaan cara melihat hukum itu sendiri daripada perbedan pandangan tentang apa yang dimaksud hukum. Orang yang bergerak di bidang hukum, lanjut Hart, umumnya mengetahui hukum tersebut, tetapi ia sering mendapat kesulitan untuk menerangkannya kepada orang lain dalam bentuk sebuah defenisi yang tegas.
Secara leksikal, kata hukum --seperti disebutkan di atas-- berasal dari bahasa Arab, yaitu hukm ( حكم ), jamaknya ahkâm ( أحكام ) yang berarti, antara lain menolak. Dari sinilah terbentuk kata al-hukm ( الحكم ) yang, antara lain, berarti menolak kezaliman atau penganiayaan.
Dalam bahasa Indonesia, kata hukum juga mengandung beberapa pengertian. Di antaranya, yang penting disebutkan di sini adalah:
(1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas; (2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis, dan sebagainya.
Adapun menurut istilah, sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, para ahli memberikan defenisi yang beragam tentang hukum. Dari sejumlah defenisi tersebut, menurut Hazairin, sebagaimana telah disinggung, dapat dikelompokkan kepada dua pandangan. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa hukum hanyalah suatu segi dari penjelmaan hidup kemasyarakatan. Yakni, serangkaian perhubungan tertentu yang timbul dalam, dan dari masyarakat tertentu pula. Jelasnya menurut pandangan ini, hukum adalah seperangkat peraturan hidup yang berpokok kepada hak dan kewajiban yang berlaku selama didukung oleh masyarakat itu. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa hukum bukanlah hanya suatu segi dari penjelmaan hidup masyarakat saja. Dengan kata lain, tidak hanya sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya –yang sangat erat—dengan Tuhan. Bahkan melihat tuhan sebagai sumber hukum yang utama. Yang disebut pertama, oleh Hazairin, dinamakan dengan paham kemasyarakatan, dan, yang kedua, dinamakannya dengan paham ketuhanan.
Defenisi hukum yang dikemukakan Muhammad Muslehuddin (cendikiawan muslim lulusan Fakultas Hukum Universitas London), agaknya mendekati kedua paham (pandangan) di atas, yaitu: kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat tertentu menerima aturan-aturan tersebut.
Apabila dihubungkan defenisi Muslehuddin ini dengan pengertian hukum secara bahasa di atas, maka dapat dirumuskan bahwa hukum pada hakekatnya merupakan kaedah atau pegangan bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap, prilaku dalam melangsungkan hubungan dan kegiatan dengan sesama manusia lainnya dalam pergaulan hidup masyarakat. Jika seseorang telah mematuhi hukum yang berlaku, atau berbuat sesuai dengan hukum, maka orang tersebut akan menolak berbuat zalim atau aniaya, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap sesama manusia, maupun terhadap sesama makhluk.
Bila hukum itu dihubungkan dengan hukum Islam atau hukum syara’, maka akan terbayang bahwa hukum Islam adalah hukum yang sesuai dengan --atau berdasarkan-- kehendak Allah. (Itulah sebabnya mengapa seorang mukalaf yang bertindak menurut hukum (Islam) dalam segala macam situasi dan kegiatan dianggap memenuhi kehendak Allah). Akan tetapi, seperti ditegaskan Amir Syarifuddin, sebagian besar kehendak Allah itu tersimpan di balik apa yang tertulis dalam al-Qur`an dan hadis Rasul-Nya (syariat). Untuk itu, lanjut Amir, dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang al-Qur`an dan hadis (syariat) itu. Hasil pemahaman tersebut, yang dituangkan dalam bentuk ketentuan rinci, dinamakan fikih.
Dengan dasar pemikiran seperti di atas, maka pernyataan Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyamakan fikih Islam dengan hukum Islam dapat diterima. Menurut Hasbi, hukum Islam adalah koleksi daya upaya fuqahâ (ahli hukum Islam) untuk menerapkan syariat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kata ”koleksi … syariat” dalam defenisi di atas menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam --seperti, juga, ditegaskan Amir Syarifuddin-- adalah yang bernama fikih dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Cuma saja, dalam penggunaan kata-kata hukum Islam --dikalangan umat Islam Indonesia-- sering menimbulkan kebingungan. Istilah hukum Islam, seperti halnya fikih, sering diidentikkan dengan syariat dalam arti sempit. Padahal, seperti telah dijelaskan, fikih atau hukum Islam memiliki perbedaan yang cukup mendasar dengan syariat dalam pengertian teknis.
Sedangkan kata ”sesuai kebutuhan masyarakat” menunjukkan bahwa hukum Islam itu harus dinamis, disamping harus memiliki daya adaptabilitas dengan realitas kehidupan masyarakat. Artinya, ruang dan waktu serta kondisi-kondisi tertentu akan mempengaruhi corak hukum Islam, dimana koleksi daya upaya fuqahâ` (fikih-fikih klasik), seperti disinggung Hasbi dalam defenisi di atas, --untuk bab-bab tertentu-- tidak harus dilaksanakan secara kaku atau tekstual, melainkan harus melalui transformasi. Hukum Islam dalam konteks ini adalah hukum Islam (fikih) lokal.
Dengan demikian, hukum Islam yang berlaku pada suatu negara nasional bisa saja berbeda dengan hukum Islam yang berlaku di negara nasional lain seperti perbedaan suatu mazhab dengan mazhab lain dalam pengertian fikih tradisional.
Sungguhpun begitu, hukum Islam dalam berbagai negara nasional tetap berasal dari sumber yang sama, yaitu syariat sebagai hukum Ilahi yang bertujuan menjaga lima hal seperti tersimpul dalam maqâshid al-syarî’ah (tujuan hukum disyariatkan).

MELIHAT AURAT MELALUI MEDIA

A. Latar Belakang
Sinetron (sinema elektronika), belakangan nampak begitu marak, bahkan merupakan salah satu tayangan unggulan dan idola masyarakat. Sinetron, yang pada awalnya dimaksudkan upaya alternatif mengatasi lesunya dunia perfilman --khususnya di Indonesia-- ternyata mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat.
”Demam” sinetron merebak. Tidak hanya melanda ibu-ibu rumah tangga --yang dalam kesehariannya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah--, tetapi juga melanda berbagai lapisan masyarakat. Terbukti, pada jam-jam tayang sinetron tertentu, pecandu sinetron berkerumun di depan televisi. Tidak saja di rumah-rumah, sebagaimana lazimnya, tetapi juga di warung-warung, di ruang-ruang tunggu, di perkantoran, sampai ke perpustakaan, pemandangan yang sama dapat disaksikan. Padahal, di antara sinetron-sinetron yang ditayangkan tidak sedikit yang mempertontonkan aurat.
Masalah ini menarik untuk dikaji bila dihubungkan dengan hukum Islam. Bolehkah melihat aurat orang lain melalui layar?

B. Hukum Menonton Tayangan Porno
Apabila dilacak dalam literatur hukum Islam, akan ditemukan ungkapan yang unik. Dalam `I’ânah al-Thâlibîn, misalnya bahwa melihat wanita melalui cermin atau air tidak dilarang. Alasannya, gambar yang terlihat hanyalah bayangan. Cuma saja, disyaratkan tidak disertai syahwat.
Melihat aurat orang lain, apalagi lawan jenis, memang, dilarang (kecuali dalam keadaan tertentu, seperti mengobati). Hal ini disepakati ulama berdasarkan beberapa dalil di antaranya:
قل للمؤمنين يغضّوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم … وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهنّ ويحفظن فروجهنّ (النور: 30 – 31)
Katakanlah pada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka melarang pandangannya dan memelihara kemaluannya… . Dan, katakanlah kepada wanita yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. (QS. al-Nur: 30-31)
Hadis Nabi SAW. :
عن عبد الرحمن بن أبي سعيد الخدري عن أبيه أنّ رسول الله  قال: لا ينظر الرجل عورة الرجل ولا تنظر المرأة عورة المرأة … (رواه المسلم )
Dari ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Sa’îd al-Khudrî dari bapaknya bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Seseorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain dan begitu juga perempuan, tidak boleh melihat aurat perempuan lain.” (HR. Muslim)
Akan tetapi, lain halnya dengan melihat aurat melalui layar atau film. Sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada larangan yang tegas dari al-Qur`an maupun hadis Nabi berkenaan dengan masalah ini.
Dari segi ini, tidak ada alasan untuk mengharamkan melihat aurat melalui layar atau film. Namun, jika dicermati lebih jauh, agaknya, akan lebih bijak jika tinjauan dalam masalah ini tidak hanya berfokus pada ada atau tidaknya dalil yang melarang, melainkan lebih menitikberatkan pada efek dari perbuatan tersebut (al-nazhr fî al-m’âlât).
Melihat aurat orang lain dalam hal-hal yang bersifat darurat, seperti dikatakan oleh Yûsuf al-Qaradhâwî, memang dibolehkan, umpamanya dalam proses pengobatan, dengan syarat tidak dibarengi dengan syahwat. Apabila pandangan disertai syahwat, lanjut al-Qaradhâwî; maka kebolehan tersebut bisa hilang demi menutup pintu bahaya atau sadd al-dzarî’ah. Demikian juga dengan kebolehan memandang pada lawan jenis (bukan auratnya), jika diiringi dengan syahwat, maka kebolehan itu menjadi hilang.
Syahwat, memang, merupakan salah satu faktor penting dan penunjang tejadinya perbuatan cabul (zina). Karenanya, kebolehan memandang dalam dua kasus di atas berlaku selama tidak ditunggangi syahwat. Maka dalam hal ini syahwat dijadikan sebagai ‘illah (penyebab) larangan. Sebab, orang yang dilanda syahwat yang bergejolak dikawatirkan akan terdorong melakukan perbuatan cabul.
Persolannya, apabila dihubungkan dengan melihat aurat melalui layar atau film, apakah hal itu mungkin akan membangkit syahwat seseorang? Menurut Joon Sumargono (fakar sains bidang epedemologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) sangat mungkin bagi orang yang normal, apalagi yang ditonton tayangan yang betul-betul porno. Karena, gambar yang diperoleh melalui syuting film, lanjut Joon, bisa sangat sempurna dan menyerupai aslinya.
Pertanyaan selanjutnya, apakah salah apabila seseorang melihat tayangan yang memperlihatkan aurat kemudian syahwatnya bangkit? Barangkali, tidak selamanya salah. Apalagi jika syahwat tersebut disalurkan pada tempat yang semestinya (istrinya yang sah). Akan tetapi jika dilihat dari segi ushul fikih, menonton tayangan yang memperlihatkan aurat adalah sebab (kausa), sedangakan syahwat adalah musabab (efek atau akibat)nya. Dengan demikian menonton tayangan yang memperlihatkan aurat, apalagi film porno, hukumnya juga tidak boleh.
Logikanya, menonton tayangan porno diduga keras akan membangkitkan syahwat. Sementara orang yang syahwatnya bergejolak dikhawatirkan akan mendorongnya melakukan zina --apalagi bagi orang yang tidak memiliki saluran yang sah-- atau paling tidak akan merusak fikirannya, lebih-lebih bagi anak-anak remaja dalam kondisi jiwa yang masih labil.
Fakta menunjukkan, berdasarkan pemberitaan beberapa media cetak, bahwa kasus perzinaan dan pemerkosaan, di antaranya, banyak yang disebabkan syahwat yang tidak terkendali sebagai reaksi dari menonton film atau VCD porno dan sejenisnya. Dalam kaitan ini, agaknya patut dikemukakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarlito Wirawan Sarwono (Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia) terhadap 101 mahasiswa (di beberapa perguruan tinggi di Jakarta) yang melakukan kontak seksual di luar nikah. Data menunjukkan, 89 orang (88,1 %) mengaku pernah melihat buku/majalah porno.
Sayangnya, Sarlito tidak menjelaskan presentase berapa besar pengaruh melihat gambar porno terhadap terjadinya perbuatan zina. Meskipun demikian, dapat diduga bahwa melihat gambar porno dapat merangsang seseorang untuk melakukan perbuatan cabul, bahkan –bisa-- pada tingkat yang terburuk, zina. Harus diingat, yang dilihat oleh responden dalam penelitian Sarlito di atas adalah gambar “mati”. Kalau dengan melihat gambar –mati—yang seronokpun bisa memberi dorongan negatif bagi yang melihatnya, maka melihat melalui layar (gambar hidup) akan jauh lebih berbahaya. Agaknya, hal inilah yang membuat para psikolog selalu cemas, ketika pornografi beredar, dan meminta pihak-pihak yang berwenang mengambil tindakan untuk menghindari pengaruh negatif yang ditimbulkannya.
Memang harus diakui, seberapa besar pengaruh melihat tayangan seronok terhadap terjadinya perbuatan cabul –secara matematis-- masih membutuhkan penelitian yang lebih mendalam. Tetapi, dalam upaya antisipasi (ihthiyâthî) maka perbuatan tersebut harus dilarang.

B. Simpulan
Pada dasarnya tidak ada larangan yang tegas tentang hukum menonton tayangan atau gambar ”panas “ dan sejenisnya. Namun perbuatan tersebut harus dilarang demi menghindari akibat buruk yang akan ditimbulkannya (berdasarkan dugaan kuat), yang akan merusak akhlak umat, khususnya generasi muda.
Wallah a’lam bi al-shawaf